Kamis, 23 Januari 2014

Memotret Budaya Keris Pusaka

Keris adalah senjata tikam golongan belati, berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya. Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam peperangan. Selain itu keris sebagai simbol, perlambang, dan kehormatan. Cukup melihat sarung keris (warangka) seseorang sudah dapat mengetahui derajat penggunanya.
Keris selain berfungsi sebagai senjata juga memiliki nilai budaya. Keris terbilang senjata tajam yang berbentuk unik dan khas. Hal itu yang menyebabkan keris mudah dibedakan dengan senjata tajam lainnya. Keris memiliki bentuk  tidak simetris (bagian pangkal yang melebar), seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan memiliki guratan atau serat logam cerah (pamor) pada helai bilahnya. Keunikan dan kekhasan itu yang menyebabkan keris memilliki nilai artistik yang tinggi.

Selain bentuk fisik keris yang unik, keris dipercaya memiliki pengaruh psikologis bagi setiap pemiliknya. Hal tersebut biasa disebut pasikutan. Pasikutan inilah yang diartikan sebagai roman atau emosi yang ditimbulkan dari sebuah wujud keris. Hal tersebut tentunya juga akan turut mempengaruhi si pemilik keris.
Para empu (sebutan untuk pembuat keris) membuat keris diyakini telah berlangsung sejak abad ke-15. Empu membuat keris dari logam berupa besi dan baja. Untuk membuatnya lebih ringan, sang empu mencampurkan dengan logam lain. Biasanya campurannya berupa batu meteorit, titanium, koba perak, timah putih, kronium, antimonium atau tembaga. Namun masa kini keris seringkali dicampur dengan logam nikel.
Prosesi Pembuatan Keris Pusaka
1. Empu menyiapkan dan memantrai bahan besi-besi baja, sambil melakukan semedi untuk mendapatkan inspirasi tentang hal bentuk keris yang akan dibuat, selaras dengan profesi pemesannya; seperti agar banyak rejekinya atau berfaedah untuk suatu kepangkatan. Pada tahap inilah merupakan penantian panjang karena empu tidak akan memulai sebelum mendapatkan petunjuk Tuhan YME.
Keterangan nomor 1 : Kalimat agar banyak rejeki atau berfaedah untuk suatu kepangkatan; memberi pengertian bahwa keris memang diciptakan agar mempunyai daya (tuah) untuk sesuatu tujuan dan kemanfaatan bagi seseorang melalui petunjuk Tuhan YME.
2.  Setelah tahap pertama selesai, kemudian Empu memulai dengan perhitungan kapan hari baik dimulainya pembuatan keris itu, dan kapan harus berhenti istirahat dahulu untuk melewati hari jelek. Empu dalam hal ini memang menguasai ilmu Candrasengkala dan perhitungan hari.
Keterangan nomor 2 : Dalam perilaku sehari-hari, bangsa kita (Nusantara) memiliki kepercayaan untuk terhindar dari malapetaka, yaitu kepercayaan pada hitungan hari baik.
3.  Sesudah menentukan hari baik untuk memulai, maka Empu melengkapi sesaji untuk upacara memohon ijin kepada kekuatan-kekuatan alam yang juga merupakan ciptaan sang Yang Tunggal. Sesajinya ada 2 (dua) macam yaitu sesaji baku yang dilakukan turun temurun sesuai pakem, seperti tumpeng, bunga setaman, bunga tiga rupa, pisang raja, jenang merah, jenang baro-baro, jenang rajah, jenang bolong, bekakak ayam, sambel goreng ati, kinangan tembakau, daun sirih, kapur sirih, teh pahit, kopi pahit dan lampu minyak, diseling dengan membakar kemenyan. Sesaji yang kedua disebut sesaji barikan, merupakan sesaji tambahan karena Empu mendapat petunjuk atau inspirasi misalnya harus menambahkan telur mata sapi, ayam berbulu putih atau yang lainnya, kemudian disantap bersama-sama. Empu memang menguasai ilmu Sarono atau ilmu sesaji, satu persatu dari sesaji itu memiliki perlambangan yang tidak semua orang tahu artinya.
Keterangan nomor 3 : Sesuai kepercayaan maguru alam sebagai interaksi manusia dengan alam, muncul kesadaran keikhlasan untuk melakukan ‘persembahan’ kepada Tuhan perwujudan alam yang menghidupinya (alam semestawi). ‘Persembahan’ manusia kepada alam dengan perlambangannya menjadi pengharapan dan atau kebalikannya seolah alam ‘meminta’ untuk dilakukannya. Kata ‘meminta’ dalam konteks sebagai inspirasi manusia mendapat gambaran mengetahui situasi ketimpangan alam yang membutuhkan keharmonisannya. ‘Persembahan’ itu disebut sesaji (menyajikan ...), maka dalam prosesi penciptaan keris dilakukan sesaji pokok(sesuai aturan turun-temurun) serta ada sesaji barikan.
4.      Pengucapan mantra, pada jaman dahulunya mantra masih berbahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi, tetapi setelah Majapahit runtuh mulai berubah secara do’a Islam. Antara lain jaman dahulu dimulai dengan mengucap Hong Wilaheng, atau niat ingsun, maka jaman para wali dimulai dengan Bismillah hirrahmanirahim .... dan seterusnya.
Keterangan nomor 4 : Mantra dapat didefinisikan sebagai suara, bunyi, kata, atau kelompok kata yang dianggap mampu menciptakan transformasi. Mantra bervariasi sesuai dengan filosofi yang berhubungan dengan tujuan mantra. Dilakukan antara lain, termasuk dalam upacara-upacara permohonan hujan, keberkahan, menghindari bahaya, atau menghapuskan musuh. Setiap kelompok manusia atau suku bangsa memiliki mantra tersendiri, termasuk orang Jawa sejak jaman dahulu kala. Istilah ’mantra’ pertama ditulis tercatat pada adanya tradisi berasal dari Vedic (tradisi India, di masyarakat Jawa kuno sudah ada tetapi tidak ditemukan catatannya), kemudian menjadi bagian penting dalam tradisi dan praktek masyarakatnya. Begitu pula, akhirnya menjadi dasar spiritual pada Hinduisme, Buddhisme, Sikhisme dan Jainisme. Penggunaan mantra kini meluas diberbagai gerakan spiritual yang sebelumnya ada pada tradisi-tradisi di Timur. Suatu “mantra” diucapkan dan digetarkan melalui sanubari manusia secara berulang-ulang, bahkan dari abad ke abad telah dilakukan, sehingga seolah terjadi sebuah konvensi (perjanjian) dengan alam semesta sehingga mantra itu memiliki kekuatannya. Mantra lahir dari olah “rasa” yang tinggi dalam proses spiritualisasi manusia dengan menyembah kepada Tuhan sebagai manifestasi alam dan kehidupan. Sehingga “mantra” menjadi wujud kekuatan itu sendiri, siapapun mengucapkan mantra akan merasakan hasilnya.
5.      Setelah kodokan jadi, lalu dilakukan tuguran/begadang, sambil kodokan itu diletakkan di alam terbuka agar ada penyatuan kekuatan dengan rembulan atau bintang di angkasa. Menjelang pagi sering terjadi peristiwa gaib yang nantinya disimpulkan oleh Empu, untuk nama gelar keris yang dihaturkan kepada Raja atau pemesannya. Tata cara tahap ini disebut ‘sirepan’, Empu bersama panjak dan tetangga bahkan teman sesama empu ikut begadang hingga subuh, sambil ditemani makanan kecil dan minuman. Makanan khas yang disajikan adalah wajik atau ketan yang dimasak dengan santan.
Keterangan nomor 5 : Perilaku prihatin atau ”nglakoni” merupakan tradisi dalam Kejawen. Maka dalam proses penciptaan keris juga ada tahap-tahap dimana dilakukan ritual yang sederhana tetapi bermakna dalam. Bakalan keris (kodokan) dipersembahkan dan dipersatukan kembali dengan alam, agar saling doyo-dinoyo (saling mendayai), didasari sebuah pemaknaan bahwa ”aku bukanlah siapa-siapa”; artinya sang Empu melakukan observasi diluar obyeknya, seolah dia hanya tangan-tangan yang ’dipakai’ untuk menciptakannya. Tahap’sirepan’ merupakan ekspresi kultural memaknai kerukunan, kegotong-royongan, toleransi, kerjasama, saling mengapresiasi, kumpul-kumpul tetangga. Hal tersebut merupakan bagian kecil dari peradaban bangsa Nusantara yang masih tetap dipelihara.
6.      Setelah keris yang digarap sudah berwujud atau selesai, masuklah tahap nyepuh atau mengeraskan besi. Empu menyiapkan tabung dari bambu yang diisi minyak kelapa, dengan dilakukan ritual dan sesaji, biasanya hanya tumpeng kecil, bunga tiga rupa dan uang recehan untuk jajan pasar para lelembut, sambil dibakari kemenyan. Keris dimantrai berulang-ulang sesuai dengan tuah yang diinginkan. Keris kemudian dibakar membara dicelupkan ke dalam bumbung yang berisi minyak itu. Ada diantaranya yang pucuknya dibakar ulang kemudian dilakukansepuh dilat yaitu ujung keris yang membara dijilat oleh kyahi empu sakti, sebelumnya dibacakan mantra sastra pinodati, sastra gigir dan rajah kalacakra.
Keterangan nomor 6 : Secara umum keris diagungkan oleh kawula perkerisan; antara lain pada keunikan teknologinya. Namun kurangnya informasi dalam hal pengerasan baja atau ‘proses sepuh’ keris pada waktu itu tidak diketahui tujuan yang sebenar-benarnya. Dalam tinjauan spiritual, prosesi penciptaan keris pada tahap sepuh ternyata aksentuasinya justru pada diadakannya ritual dan sesaji sebagai penyembahan kepada Gusti serta untuk ‘kulo nuwun’ kepada baureksa disekitarnya. Bahkan ‘Uang receh’ yang disebutkan adalah untuk jajan pasar para lelembut (makhluk halus); merupakan suatu kompensasi jika ada kelalaian atau kekurangan dalam sesajinya. Uang recehan itu bisa dibelanjakannya sendiri (makhluk halus) ke pasar. Kemudian pada kalimat : “Ada diantaranya yang pucuknya dibakar ulang kemudian dilakukan sepuh dilat yaitu ujung yang dibakar membara dijilat oleh Empu sakti dibacakan sastra pinodati, sastra gigir dan rajah kalacakra”.
Sepuh dilat adalah ritual berupa prosesi dengan menjilat sebilah besi membara biasanya pisau membara yang kemudian pisau itu dihentakkan (dicelup) pada air bunga, sebagai perlambangan bersatunya dua kekuatan (antitesis). Ketika api dan air bersatu, disertai mantra sang empu terucap, maka tertanamlah kekuatan pada sebilah keris yang disepuh dilat. Sepuh dilat dapat diartikan sebagai “ngenjingaken doyo” (memantek Yoni). Sepuh dilat adalah bagian dari ritual manembah; yang dapat dijelaskan sebagai pembersihan diri. Pembersihan diri yang disebut ‘asesuci’ itu ada empat macam yaitu asesuci dengan media bumi, angin, tirta dan api. Asesuci bumi dan angin tidak dilakukan (secara komunal) karena ritual ini sangat pribadi dan merupakan tahapan yang tinggi. Maka asesuci biasanya dilakukan dengan media ‘air/tirta’ dan ‘api’. Dalam ritual asesuci ’api’ dilakukan 7 (tujuh) kali jilatan; sesuai diagram chandra manusia yang menyatakan bahwa manusia memiliki 7 konstruksi jasmani dimana di dalam kejawen Sastra Jendra disebut ’sapta arga’ (bulu, kulit, daging, urat, darah, tulang, sungsum). Maka 7 (tujuh) konstruksi itu dibersihkan (disucikan) satu per satu. Sedangkan ’asesuci air’ adalah mandi keramas dengan bunga-bungaan, hal ini sangat lazim dilakukan.
7.      Kemudian keris direndam ke dalam air kelapa yang sudah basi, agar kerak-kerak besi pembakaran terlepas, biasanya direndam semalam sehingga keris cemerlang guwayanya, serta muncul pamornya yang indah. Setelah itu keris dibersihkan dengan air jeruk nipis hingga putih, lalu diwarangi. Keris yang selesai diwarangi diolesi minyak kemudian disanggarkan dengan cara ditaruh ditempat pedupaan beberapa hari sampai melewati Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon. Hal ini dilakukan agar mantranya betul-betul manjing dan keris betul-betul ampuh. Setelah selesai semua, keris dibuat warangkanya yang cocok oleh mranggi/tukang warangka yang mahir dan biasanya warangka bisa terkunci.
Keterangan nomor 7 : Kalimat yang menarik pada point 7 ini adalah dalam ada kata disanggarkan. Kata ”sanggar”artinya ruang atau rumah pemujaan. Disanggarkan artinya keris diletakkan dalam ruang pemujaan itu. Maksudnya adalah agar semua yang telah dilakukan secara bendawi dan non-bendawi dapat mengendap. Sesuai kepercayaan Kejawen ditentukan meliwati hari tertentu, seperti Jumat Kliwon yang dianggap sebagai hari besar yang membawa berkah atau Selasa Kliwon yang dipercaya sebagai penyatuan kasih Angkasa dan Bumi yang juga disebut Anggoro Kasih (Anggoro = Selasa; Kasih = Kliwon).
Pemahaman Esoterik
Esoteris keris adalah hal-hal non-bendawi pada keris meliputi segala aspeknya; seperti telah diuraikan prosesi pembuatan keris dengan ritual yang menyimpulkan adanya perlakuan esoteristik spiritual dari awal penciptaannya. Keris, secara wujud fisik atau disebut eksoteris memuat pula ’senirupa simbolik’, sesuai karakter dan tuah yang diinginkan, tertuang dalam bentuk keris (disebut dhapur) dan motif pamornya.
Dhapur atau bentuk keris secara senirupa merupakan simbolisasi dari tujuan diciptakannya. Antara lain adanya bentuk keris lurus (dhapur bener) menyimpulkan ketakwaan kepada Yang Maha Kuasa. Dhapur Jangkung (luk3) melambangkan terjangkaunya cita-cita. Dhapur Pandawa (luk 5) agar pemiliknya dapat berdiplomasi dan memiliki watak agung seperti Pandawa lima. Begitu seterusnya hingga dapur yang lekuknya banyak seperti dhapur Ngamper Bantolo (luk 15) yang melambangkan si pemilik bisa menguasai tanah dan wilayah yang luas.
Selain dhapur, ternyata ’keris’ juga diciptakan dengan grand design yang sempurna dan agung; divisualkan pada motif pamor berkaitan dengan tujuan esoteriknya (tuah). Simbol-simbol seni rupa ”pamor” itu digolongkan dalam 5 kelompok; yang diekspresikan dalam media sebidang bilah keris, sesuai ’chandra manusia' dengan pemahaman unsur (anasir) tubuh manusia dan semesta (pandangan Kejawen); antara lain:
1.      Jika pemantraan keris ditujukan untuk kerejekian, pergaulan, dikasihi, kejayaan, kemakmuran, keduniawian atau kehidupan lahiriah lainnya maka motif pamornya ditata berbentuk meliuk-liuk dan berpusar-pusar dilambangkan sesuai karakter ”tirta” (unsur air). Contohnya : wos wutah, udanmas, segoro muncar dsb.
2.      Konfigurasi pamor bergaris-garis seperti lidi berjajar dianggap sebagai simbolisasi penyapu bencana, penolak bala, penolak segala kelicikan, santet dan perlakuan jahat baik secara fisik maupun maya. Serta merupakan simbol kebijaksanaan. Konfigurasi garis-garis tergolong dalam sebutan pamor singkir dan pamor hadeg. Karakter yang tegar ini dilambangkan kekuatan 'bayu' (unsur angin) yang sanggup menyapu segalanya, menerbangkan debu, dedaunan, bahkan atap dengan tidak tampak namun tetap dapat dirasakan keberadaannya.
3.      Pamor rekayasa (dirancang atau pamor rekan) berbentuk motif daun palem, daun genduru, sekar-sekaran, lebih spesifik untuk tuah kejayaan, martabat, kekuasaan, kederajatan pemiliknya. Konfigurasi ini coraknya berjuntai keatas seperti karakter dari kobaran 'agni' (unsur api). Tetap dalam lingkup sebagai representasi alam, contohnya pamor Ron Genduru, Blarak Sinéréd, Sekar Lampés, Sekar Pålå, Sekar Kopi, Mayang Mekar, Pari Sa’uli, dsb.
4.      Kesentosaan juga disimbolkan dengan adanya keris polos tanpa pamor (disebut: keleng) mengibaratkan dalam diri manusia memiliki jiwa pengabdian yang tulus. Keris keleng biasanya dibuat oleh sang Empu untuk kebutuhan ketentraman, orang-orang spiritual, pembela kejujuran dan sifat-sifat kesentosaan lainnya. Karakter unsur 'bantolo' atau 'bumi' disimbolisasikan dengan keris keleng tanpa pamor itu.
5.      Bahwa kemanunggalan ’aku’ atau pancer-nya ditengah saudara empat atau sedulur papat yang dalam proses spiritual adalah tahap transendental, tercapainya kemanunggalan dalam ruang bapa angkasa dan ibu bumi ditengah kiblat timur-selatan-barat-utara dalam ’aku jagad’, sanggup melahirkan kekuatan dahsyat dalam perwujudan goresan ’rajah’. Pamor rajah diciptakan oleh empu yang sakti dengan tujuan tertentu. Hingga saat ini, hanya beberapa bentuk pamor rajah pada keris yang bisa dimengerti seperti rajah ‘batu lapak’ memiliki tuah si pemilik dapat menghilang, lolos dari tembakan, kebal peluru, tidak tampak walaupun di depan mata musuh. Rajah 'pilulut' untuk kasengseman, pèlèt, kebahagiaan seksual, dsb. Ada pula rajah Alif, kalacakra dan masih banyak bentuk rajah yang lain seperti ekspresi abstrak dari sang Empu yang sulit diselami maknanya.



Keris memiliki tiga bagian utama yakni bilah (wilah atau daun keris), ganja (penopang) dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Untuk ganja sendiri tidak selalu ada pada setiap keris. Hal ini tergantung pada si pembuat keris. Keris juga dilindungi dengan sarung yang biasa disebut warangka.
Pembuatan keris pada era ini dapat ditemui disejumlah daerah, seperti Jawa, Madura, dan Makasar. Sekarang pelestarian budaya keris tetap hidup di masyarakat, mulai dari pakem ( tata cara untuk membuat suatu bentuk secara utuh yang mengikuti tradisi ), generasi empu ( sipembuat keris, seperti keturunan Empu). Pusat transaksi keris bisa ditemui seperti di Jakarta , Surabaya, Makasar, Sumenep, dan Jember . Tak hanya di dalam negeri, permintaan keris banyak datang dari luar negeri, khususnya wilayah yang pernah berada dalam pemerintahan Kerajaan Majapahit, seperti Brunei , Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Berangkat dari nilai estetika, spritual, dan sosial yang tinggi itulah tak ayal jika keris Indonesia ditetapkan Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia oleh UNESCO pada tahun 2005. Tentu hal ini sangat membagakan. Namun perlu diingat kebanggaan saja tak cukup untuk menjaga kelestarian nilai budaya keris ini sebagai generasi penerus kita harus menjaga dan melanjutkan pencapaian pendahulu kita.

Untuk melihat foto-foto lengkap kunjungi:http://mardiantorahman.wordpress.com/2014/01/24/puska-10-jpg/

Senin, 20 Januari 2014

KERATON MEMBENTUK IDENTITAS BANGSA


Kebudayaan Daerah yang kita miliki sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia hampir punah dan lenyap dari bumi pertiwi. Sebagian besar lapisan masyarakat lupa akan keberadaan kebudayaan sendiri. Hal itu tentu sangat mengkuatirkan mengingat budaya merupakan identitas sebuah bangsa. Pengaruh budaya asing yang datang dari negara barat yang jauh dari nilai-nilai luhur budaya timur seperti kita, Indonesia, justru semakin kuat mencengkram berbagai sendi kehidupan.


Budaya barat yang dianggap modern oleh kalangan muda-mudi Indonesia telah melumpuhkan jiwa patriotisme dan nasionalisme generasi penerus Indonesia. Sebagai contoh yang sederhana, remaja Indonesia saat ini lebih suka berbagai produk yang beraroma bangsa barat. Mulai dari pakaian, makanan, dan pergaulan diadopsi demi predikat maju dan modern. Bahkan, hasil cipta dan karsa bangsa sendiri dipersepsikan kampungan, jadul, dan berbagai label sinisme yang lain. Jika hal ini berlangsung terus-menerus jangan harap bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka seutuhnya.  Kita akan terus menjadi bangsa plagiat dan pendompleng bangsa lain, tidak akan pernah menjadi bangsa pionir.
Kita perlu bernostalgia dengan dengan sejarah. Membuka kembali halaman masa silam demi menatap dan melangkah di masa depan. Sejarah mencatat sebelum terbentuk Negara Kesatuan republik Indonesia nusantara memiliki banyak keraton atau kerajaan. Keraton-keraton tersebut menjadi identitas sebuah kelompok baik suku maupun budaya. Seiring dengan bergulirnya kemerdekaan republik ini bersatulah semuanya ke dalam NKRI. Artinya, perbedaan itu baik suku, bahasa, agama dan budaya, bukan merupakan masalah melainkan sebuah anugerah. Hal ini tercermin dalam semboyan bangsa, ’Bhinneka Tunggal Ika’.
Dalam semboyan itu tentu kita bisa memahami bahwa perbedaan bukanlah suatu masalah untuk bersatu. Artinya, potensi-potensi positif dalam perbedaan itulah yang perlu kita jaga dan lestarikan menjadi sebuah identitas baru, yaitu Indonesia yang memiliki keberagam budaya. Keberagaman budaya itulah yang akan menjadi identitas dan daya pikat sebuah bangsa.

Membentuk identitas bangsa sama saja membentuk kepribadian. Seperti disinggung sebelumnya kepribadian bangsa ini adalah keanekaragaman. Oleh karena itu, dalam memaksimalkan kenekaragaman itu keletarian dan keberlangsungan sebuah keraton merupakan hal mutlak. Langkah itu perlu mengingat peran keraton sebagai pusat sosial sebuah kebudayaan daerah.



Keraton berasal dari kata-kata ka + ratu + an. Keraton juga disebut kedaton yang berasal dari kata-kata ka + datu + an yaitu tempat datu-datu atau ratu-ratu. Dalam Bahasa Indonesia keraton diartikan istana. Jadi keraton ialah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, arti filsafat dan arti kebudayaan.



Ungkapan keraton sebagai pusat sosial dari sebuah kebudayaan tentu benar adanya. Sebagai contoh keraton Yogyakarta. Keraton yogyakarta tidak hanya melaksanakan fungsinya sebagai wahana pelestarian budaya tetai juga melakukan interaksi terhadap masyarakat sebagai wujud rasa sosial yang tinggi, mengingat bahwa Keraton Yogyakarta merupakan kediaman gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwana X.
Nilai-nilai budaya di Keraton Yogyakarta dapat dilihat dalam pelaksanaan ritual semedi. Keraton meyakini bahwa orang yang sedang bersemedi maka ia selalu berada dalam keagungan Tuhan YME. Selain itu, Keraton Yogyakarta melakukan upacara ritual tiap tahunnya yang dikenal dengan nama upacara grebeg. Grebeg adalah upacara keagamaan yang dilakukan 3 kali dalam setahun. Bertepatan pada lahinya Nabi Muhammad SAW (grebeg Maulud), hari raya idul fitri (grebeg Syawal) dan pada hari raya idul adha (grebeg Besar). Nilai-nilai budaya yang lain seprti seni pertunjukan terdapat dalam ritual fungsional istana. Di antaranya, adalah pertunjukan Tari Bedoyo yang disucikan, pertunjukan wayang kulit, wayang wong dan lain-lain.
     

Terlihat jelas bahwa Keraton merupakan pusat sosial budaya. Selain itu, pelestarian keraton akan berdampak juga terhadap pelestarikan nilai-nilai sosio kultural bangsa Indonesia secara turun temurun. Dengan demikian keraton tetap harus lestari guna menjaga identitas bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Untuk foto-foto lengkap kunjungi:  http://mardiantorahman.wordpress.com/2014/01/24/puska-10-jpg/