Keris selain berfungsi sebagai senjata juga memiliki
nilai budaya. Keris terbilang senjata tajam yang berbentuk unik dan khas. Hal itu
yang menyebabkan keris mudah dibedakan dengan senjata tajam lainnya. Keris memiliki
bentuk tidak simetris (bagian pangkal
yang melebar), seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan memiliki guratan atau
serat logam cerah (pamor) pada helai bilahnya. Keunikan dan kekhasan itu yang
menyebabkan keris memilliki nilai artistik yang tinggi.
Selain bentuk fisik keris yang unik, keris dipercaya
memiliki pengaruh psikologis bagi setiap pemiliknya. Hal tersebut biasa disebut pasikutan. Pasikutan inilah
yang diartikan sebagai roman atau emosi yang ditimbulkan dari sebuah wujud
keris. Hal tersebut tentunya juga akan turut mempengaruhi si pemilik keris.
Para empu (sebutan untuk pembuat keris) membuat keris diyakini
telah berlangsung sejak abad ke-15. Empu membuat keris dari logam berupa
besi dan baja. Untuk membuatnya lebih ringan, sang empu mencampurkan dengan logam
lain. Biasanya campurannya berupa batu meteorit, titanium, koba perak, timah
putih, kronium, antimonium atau tembaga. Namun masa kini keris seringkali
dicampur dengan logam nikel.
Prosesi Pembuatan Keris Pusaka
1. Empu menyiapkan dan
memantrai bahan besi-besi baja, sambil melakukan semedi untuk mendapatkan
inspirasi tentang hal bentuk keris yang akan dibuat, selaras dengan profesi
pemesannya; seperti agar banyak rejekinya atau berfaedah untuk suatu
kepangkatan. Pada tahap inilah merupakan penantian panjang karena empu tidak
akan memulai sebelum mendapatkan petunjuk Tuhan YME.
Keterangan
nomor 1 : Kalimat agar banyak rejeki atau berfaedah untuk suatu
kepangkatan; memberi pengertian bahwa keris memang diciptakan agar mempunyai
daya (tuah) untuk sesuatu tujuan dan kemanfaatan bagi seseorang melalui
petunjuk Tuhan YME.
2. Setelah tahap
pertama selesai, kemudian Empu memulai dengan perhitungan kapan hari baik
dimulainya pembuatan keris itu, dan kapan harus berhenti istirahat dahulu untuk
melewati hari jelek. Empu dalam hal ini memang menguasai ilmu Candrasengkala
dan perhitungan hari.
Keterangan
nomor 2 : Dalam perilaku sehari-hari, bangsa kita (Nusantara)
memiliki kepercayaan untuk terhindar dari malapetaka, yaitu kepercayaan pada
hitungan hari baik.
3. Sesudah menentukan
hari baik untuk memulai, maka Empu melengkapi sesaji untuk upacara memohon ijin
kepada kekuatan-kekuatan alam yang juga merupakan ciptaan sang Yang Tunggal.
Sesajinya ada 2 (dua) macam yaitu sesaji baku yang dilakukan turun temurun
sesuai pakem, seperti tumpeng, bunga setaman, bunga tiga rupa, pisang raja,
jenang merah, jenang baro-baro, jenang rajah, jenang bolong, bekakak ayam,
sambel goreng ati, kinangan tembakau, daun sirih, kapur sirih, teh pahit, kopi pahit
dan lampu minyak, diseling dengan membakar kemenyan. Sesaji yang kedua disebut sesaji barikan, merupakan sesaji
tambahan karena Empu mendapat petunjuk atau inspirasi misalnya harus
menambahkan telur mata sapi, ayam berbulu putih atau yang lainnya, kemudian
disantap bersama-sama. Empu memang menguasai ilmu Sarono atau ilmu sesaji, satu persatu dari sesaji itu memiliki
perlambangan yang tidak semua orang tahu artinya.
Keterangan
nomor 3 : Sesuai kepercayaan maguru alam sebagai interaksi manusia
dengan alam, muncul kesadaran keikhlasan untuk melakukan ‘persembahan’ kepada
Tuhan perwujudan alam yang menghidupinya (alam semestawi). ‘Persembahan’
manusia kepada alam dengan perlambangannya menjadi pengharapan dan atau
kebalikannya seolah alam ‘meminta’ untuk dilakukannya. Kata ‘meminta’ dalam
konteks sebagai inspirasi manusia mendapat gambaran mengetahui situasi
ketimpangan alam yang membutuhkan keharmonisannya. ‘Persembahan’ itu disebut
sesaji (menyajikan ...), maka dalam prosesi penciptaan keris dilakukan sesaji pokok(sesuai aturan
turun-temurun) serta ada sesaji barikan.
4.
Pengucapan mantra,
pada jaman dahulunya mantra masih berbahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi, tetapi
setelah Majapahit runtuh mulai berubah secara do’a Islam. Antara lain jaman
dahulu dimulai dengan mengucap Hong Wilaheng, atau niat ingsun, maka jaman para
wali dimulai dengan Bismillah hirrahmanirahim .... dan seterusnya.
Keterangan
nomor 4 : Mantra dapat didefinisikan sebagai suara, bunyi, kata,
atau kelompok kata yang dianggap mampu menciptakan transformasi. Mantra
bervariasi sesuai dengan filosofi yang berhubungan dengan tujuan mantra.
Dilakukan antara lain, termasuk dalam upacara-upacara permohonan hujan,
keberkahan, menghindari bahaya, atau menghapuskan musuh. Setiap kelompok
manusia atau suku bangsa memiliki mantra tersendiri, termasuk orang Jawa sejak
jaman dahulu kala. Istilah ’mantra’ pertama ditulis tercatat pada adanya
tradisi berasal dari Vedic (tradisi India, di masyarakat Jawa kuno sudah ada
tetapi tidak ditemukan catatannya), kemudian menjadi bagian penting dalam
tradisi dan praktek masyarakatnya. Begitu pula, akhirnya menjadi dasar
spiritual pada Hinduisme, Buddhisme, Sikhisme dan Jainisme. Penggunaan mantra
kini meluas diberbagai gerakan spiritual yang sebelumnya ada pada
tradisi-tradisi di Timur. Suatu “mantra” diucapkan dan digetarkan melalui
sanubari manusia secara berulang-ulang, bahkan dari abad ke abad telah
dilakukan, sehingga seolah terjadi sebuah konvensi (perjanjian) dengan alam
semesta sehingga mantra itu memiliki kekuatannya. Mantra lahir dari olah “rasa”
yang tinggi dalam proses spiritualisasi manusia dengan menyembah kepada Tuhan
sebagai manifestasi alam dan kehidupan. Sehingga “mantra” menjadi wujud
kekuatan itu sendiri, siapapun mengucapkan mantra akan merasakan hasilnya.
5.
Setelah kodokan
jadi, lalu dilakukan tuguran/begadang, sambil kodokan itu diletakkan di alam
terbuka agar ada penyatuan kekuatan dengan rembulan atau bintang di angkasa.
Menjelang pagi sering terjadi peristiwa gaib yang nantinya disimpulkan oleh Empu,
untuk nama gelar keris yang dihaturkan kepada Raja atau pemesannya. Tata cara
tahap ini disebut ‘sirepan’, Empu bersama panjak
dan tetangga bahkan teman sesama empu ikut begadang hingga subuh, sambil
ditemani makanan kecil dan minuman. Makanan khas yang disajikan adalah wajik
atau ketan yang dimasak dengan santan.
Keterangan
nomor 5 : Perilaku prihatin atau ”nglakoni” merupakan tradisi dalam
Kejawen. Maka dalam proses penciptaan keris juga ada tahap-tahap dimana
dilakukan ritual yang sederhana tetapi bermakna dalam. Bakalan keris (kodokan)
dipersembahkan dan dipersatukan kembali dengan alam, agar saling doyo-dinoyo
(saling mendayai), didasari sebuah pemaknaan bahwa ”aku bukanlah siapa-siapa”;
artinya sang Empu melakukan observasi diluar obyeknya, seolah dia hanya
tangan-tangan yang ’dipakai’ untuk menciptakannya. Tahap’sirepan’ merupakan ekspresi kultural
memaknai kerukunan, kegotong-royongan, toleransi, kerjasama, saling
mengapresiasi, kumpul-kumpul tetangga. Hal tersebut merupakan bagian kecil dari
peradaban bangsa Nusantara yang masih tetap dipelihara.
6. Setelah keris yang digarap sudah berwujud atau selesai,
masuklah tahap nyepuh atau mengeraskan besi. Empu menyiapkan tabung dari bambu
yang diisi minyak kelapa, dengan dilakukan ritual dan sesaji, biasanya hanya
tumpeng kecil, bunga tiga rupa dan uang recehan untuk jajan pasar para
lelembut, sambil dibakari kemenyan. Keris dimantrai berulang-ulang sesuai
dengan tuah yang diinginkan. Keris kemudian dibakar membara dicelupkan ke dalam
bumbung yang berisi minyak itu. Ada diantaranya yang pucuknya dibakar ulang
kemudian dilakukansepuh dilat yaitu
ujung keris yang membara dijilat oleh kyahi empu sakti, sebelumnya dibacakan
mantra sastra pinodati,
sastra gigir dan rajah kalacakra.
Keterangan
nomor 6 : Secara umum keris diagungkan oleh kawula perkerisan;
antara lain pada keunikan teknologinya. Namun kurangnya informasi dalam hal
pengerasan baja atau ‘proses sepuh’ keris pada waktu itu tidak diketahui tujuan
yang sebenar-benarnya. Dalam tinjauan spiritual, prosesi penciptaan keris pada
tahap sepuh ternyata aksentuasinya justru pada diadakannya ritual dan sesaji
sebagai penyembahan kepada Gusti serta untuk ‘kulo nuwun’ kepada baureksa
disekitarnya. Bahkan ‘Uang receh’ yang disebutkan adalah untuk jajan pasar para
lelembut (makhluk halus); merupakan suatu kompensasi jika ada kelalaian atau
kekurangan dalam sesajinya. Uang recehan itu bisa dibelanjakannya sendiri
(makhluk halus) ke pasar. Kemudian pada kalimat : “Ada diantaranya yang
pucuknya dibakar ulang kemudian dilakukan sepuh dilat yaitu ujung yang dibakar
membara dijilat oleh Empu sakti dibacakan sastra
pinodati, sastra gigir dan rajah kalacakra”.
Sepuh
dilat adalah ritual berupa prosesi dengan menjilat sebilah besi
membara biasanya pisau membara yang kemudian pisau itu dihentakkan (dicelup)
pada air bunga, sebagai perlambangan bersatunya dua kekuatan (antitesis).
Ketika api dan air bersatu, disertai mantra sang empu terucap, maka tertanamlah
kekuatan pada sebilah keris yang disepuh dilat. Sepuh dilat dapat diartikan
sebagai “ngenjingaken doyo” (memantek Yoni). Sepuh dilat adalah bagian dari
ritual manembah; yang dapat dijelaskan sebagai pembersihan diri. Pembersihan
diri yang disebut ‘asesuci’ itu ada empat macam yaitu asesuci
dengan media bumi, angin, tirta dan api. Asesuci bumi dan angin tidak dilakukan
(secara komunal) karena ritual ini sangat pribadi dan merupakan tahapan yang
tinggi. Maka asesuci biasanya dilakukan dengan media ‘air/tirta’ dan ‘api’.
Dalam ritual asesuci ’api’ dilakukan 7 (tujuh) kali jilatan; sesuai diagram
chandra manusia yang menyatakan bahwa manusia memiliki 7 konstruksi jasmani
dimana di dalam kejawen Sastra Jendra disebut ’sapta
arga’ (bulu,
kulit, daging, urat, darah, tulang, sungsum). Maka 7 (tujuh) konstruksi
itu dibersihkan (disucikan) satu per satu. Sedangkan ’asesuci air’ adalah mandi
keramas dengan bunga-bungaan, hal ini sangat lazim dilakukan.
7.
Kemudian keris
direndam ke dalam air kelapa yang sudah basi, agar kerak-kerak besi pembakaran
terlepas, biasanya direndam semalam sehingga keris cemerlang guwayanya, serta
muncul pamornya yang indah. Setelah itu keris dibersihkan dengan air jeruk
nipis hingga putih, lalu diwarangi. Keris yang selesai diwarangi diolesi minyak
kemudian disanggarkan dengan cara ditaruh ditempat pedupaan beberapa hari
sampai melewati Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon. Hal ini dilakukan agar
mantranya betul-betul manjing dan keris betul-betul ampuh. Setelah selesai
semua, keris dibuat warangkanya yang cocok oleh mranggi/tukang warangka yang
mahir dan biasanya warangka bisa terkunci.
Keterangan
nomor 7 : Kalimat yang menarik pada point 7 ini adalah dalam ada
kata disanggarkan. Kata ”sanggar”artinya
ruang atau rumah pemujaan. Disanggarkan artinya keris diletakkan dalam ruang
pemujaan itu. Maksudnya adalah agar semua yang telah dilakukan secara bendawi
dan non-bendawi dapat mengendap. Sesuai kepercayaan Kejawen ditentukan meliwati
hari tertentu, seperti Jumat Kliwon yang dianggap sebagai hari besar yang membawa
berkah atau Selasa Kliwon yang dipercaya sebagai penyatuan kasih Angkasa dan
Bumi yang juga disebut Anggoro
Kasih (Anggoro = Selasa;
Kasih = Kliwon).
Pemahaman Esoterik
Esoteris keris adalah hal-hal non-bendawi pada keris meliputi
segala aspeknya; seperti telah diuraikan prosesi pembuatan keris dengan ritual
yang menyimpulkan adanya perlakuan esoteristik spiritual dari awal
penciptaannya. Keris, secara wujud fisik atau disebut eksoteris memuat pula ’senirupa simbolik’, sesuai
karakter dan tuah yang diinginkan, tertuang dalam bentuk keris (disebut dhapur)
dan motif pamornya.
Dhapur atau
bentuk keris secara senirupa merupakan simbolisasi dari tujuan diciptakannya.
Antara lain adanya bentuk keris lurus (dhapur
bener) menyimpulkan ketakwaan
kepada Yang Maha Kuasa. Dhapur
Jangkung (luk3) melambangkan
terjangkaunya cita-cita. Dhapur
Pandawa (luk 5) agar pemiliknya
dapat berdiplomasi dan memiliki watak agung seperti Pandawa lima. Begitu
seterusnya hingga dapur yang lekuknya banyak seperti dhapur Ngamper Bantolo (luk 15) yang melambangkan si pemilik
bisa menguasai tanah dan wilayah yang luas.
Selain
dhapur, ternyata ’keris’ juga diciptakan dengan grand design yang sempurna dan
agung; divisualkan pada motif pamor berkaitan
dengan tujuan esoteriknya (tuah). Simbol-simbol seni rupa ”pamor” itu
digolongkan dalam 5 kelompok; yang diekspresikan dalam media sebidang bilah
keris, sesuai ’chandra manusia' dengan pemahaman unsur (anasir) tubuh manusia
dan semesta (pandangan Kejawen); antara lain:
1.
Jika pemantraan
keris ditujukan untuk kerejekian, pergaulan, dikasihi, kejayaan, kemakmuran,
keduniawian atau kehidupan lahiriah lainnya maka motif pamornya ditata
berbentuk meliuk-liuk dan berpusar-pusar dilambangkan sesuai karakter ”tirta” (unsur air). Contohnya : wos wutah, udanmas, segoro muncar dsb.
2.
Konfigurasi pamor
bergaris-garis seperti lidi berjajar dianggap sebagai simbolisasi penyapu
bencana, penolak bala, penolak segala kelicikan, santet dan perlakuan jahat
baik secara fisik maupun maya. Serta merupakan simbol kebijaksanaan.
Konfigurasi garis-garis tergolong dalam sebutan pamor singkir dan pamor
hadeg. Karakter yang tegar ini dilambangkan kekuatan 'bayu' (unsur angin) yang sanggup menyapu
segalanya, menerbangkan debu, dedaunan, bahkan atap dengan tidak tampak namun
tetap dapat dirasakan keberadaannya.
3.
Pamor rekayasa
(dirancang atau pamor rekan)
berbentuk motif daun palem, daun genduru, sekar-sekaran, lebih spesifik untuk
tuah kejayaan, martabat, kekuasaan, kederajatan pemiliknya. Konfigurasi ini
coraknya berjuntai keatas seperti karakter dari kobaran 'agni' (unsur api). Tetap dalam lingkup
sebagai representasi alam, contohnya pamor Ron
Genduru, Blarak Sinéréd, Sekar Lampés, Sekar Pålå, Sekar Kopi, Mayang Mekar,
Pari Sa’uli, dsb.
4.
Kesentosaan juga
disimbolkan dengan adanya keris polos tanpa pamor (disebut: keleng)
mengibaratkan dalam diri manusia memiliki jiwa pengabdian yang tulus. Keris keleng
biasanya dibuat oleh sang Empu untuk kebutuhan ketentraman, orang-orang
spiritual, pembela kejujuran dan sifat-sifat kesentosaan lainnya. Karakter
unsur 'bantolo' atau 'bumi' disimbolisasikan dengan
keris keleng tanpa pamor itu.
5.
Bahwa kemanunggalan ’aku’ atau pancer-nya
ditengah saudara empat atau sedulur papat
yang dalam proses spiritual adalah tahap transendental, tercapainya
kemanunggalan dalam ruang bapa angkasa dan ibu bumi ditengah kiblat
timur-selatan-barat-utara dalam ’aku
jagad’, sanggup melahirkan kekuatan dahsyat dalam perwujudan goresan ’rajah’. Pamor rajah
diciptakan oleh empu yang sakti dengan tujuan tertentu. Hingga saat ini, hanya
beberapa bentuk pamor rajah pada keris yang bisa dimengerti seperti rajah ‘batu lapak’ memiliki tuah si pemilik dapat
menghilang, lolos dari tembakan, kebal peluru, tidak tampak walaupun di depan
mata musuh. Rajah 'pilulut' untuk kasengseman, pèlèt, kebahagiaan seksual, dsb. Ada pula
rajah Alif, kalacakra dan masih banyak bentuk rajah yang lain seperti ekspresi
abstrak dari sang Empu yang sulit diselami maknanya.
Keris memiliki tiga bagian utama yakni bilah (wilah atau daun keris), ganja (penopang) dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Untuk ganja sendiri tidak selalu ada pada setiap keris. Hal ini tergantung pada si pembuat keris. Keris juga dilindungi dengan sarung yang biasa disebut warangka.
Pembuatan keris pada era ini dapat ditemui
disejumlah daerah, seperti Jawa, Madura, dan Makasar. Sekarang pelestarian budaya keris tetap hidup
di masyarakat, mulai dari pakem ( tata cara untuk membuat
suatu bentuk secara utuh yang mengikuti tradisi ), generasi empu ( sipembuat
keris, seperti keturunan Empu). Pusat transaksi keris bisa ditemui seperti di
Jakarta , Surabaya, Makasar, Sumenep, dan Jember . Tak hanya di dalam negeri,
permintaan keris banyak datang dari luar negeri, khususnya wilayah yang pernah
berada dalam pemerintahan Kerajaan Majapahit, seperti Brunei , Malaysia, Thailand,
dan Filipina.
Berangkat dari nilai estetika, spritual, dan
sosial yang tinggi itulah tak ayal jika keris Indonesia ditetapkan Warisan Budaya
Dunia Non-Bendawi Manusia oleh UNESCO pada tahun 2005. Tentu
hal ini sangat membagakan. Namun perlu diingat kebanggaan saja tak cukup untuk
menjaga kelestarian nilai budaya keris ini sebagai generasi penerus kita harus menjaga
dan melanjutkan pencapaian pendahulu kita.