Kamis, 23 Januari 2014

Memotret Budaya Keris Pusaka

Keris adalah senjata tikam golongan belati, berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya. Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam peperangan. Selain itu keris sebagai simbol, perlambang, dan kehormatan. Cukup melihat sarung keris (warangka) seseorang sudah dapat mengetahui derajat penggunanya.
Keris selain berfungsi sebagai senjata juga memiliki nilai budaya. Keris terbilang senjata tajam yang berbentuk unik dan khas. Hal itu yang menyebabkan keris mudah dibedakan dengan senjata tajam lainnya. Keris memiliki bentuk  tidak simetris (bagian pangkal yang melebar), seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan memiliki guratan atau serat logam cerah (pamor) pada helai bilahnya. Keunikan dan kekhasan itu yang menyebabkan keris memilliki nilai artistik yang tinggi.

Selain bentuk fisik keris yang unik, keris dipercaya memiliki pengaruh psikologis bagi setiap pemiliknya. Hal tersebut biasa disebut pasikutan. Pasikutan inilah yang diartikan sebagai roman atau emosi yang ditimbulkan dari sebuah wujud keris. Hal tersebut tentunya juga akan turut mempengaruhi si pemilik keris.
Para empu (sebutan untuk pembuat keris) membuat keris diyakini telah berlangsung sejak abad ke-15. Empu membuat keris dari logam berupa besi dan baja. Untuk membuatnya lebih ringan, sang empu mencampurkan dengan logam lain. Biasanya campurannya berupa batu meteorit, titanium, koba perak, timah putih, kronium, antimonium atau tembaga. Namun masa kini keris seringkali dicampur dengan logam nikel.
Prosesi Pembuatan Keris Pusaka
1. Empu menyiapkan dan memantrai bahan besi-besi baja, sambil melakukan semedi untuk mendapatkan inspirasi tentang hal bentuk keris yang akan dibuat, selaras dengan profesi pemesannya; seperti agar banyak rejekinya atau berfaedah untuk suatu kepangkatan. Pada tahap inilah merupakan penantian panjang karena empu tidak akan memulai sebelum mendapatkan petunjuk Tuhan YME.
Keterangan nomor 1 : Kalimat agar banyak rejeki atau berfaedah untuk suatu kepangkatan; memberi pengertian bahwa keris memang diciptakan agar mempunyai daya (tuah) untuk sesuatu tujuan dan kemanfaatan bagi seseorang melalui petunjuk Tuhan YME.
2.  Setelah tahap pertama selesai, kemudian Empu memulai dengan perhitungan kapan hari baik dimulainya pembuatan keris itu, dan kapan harus berhenti istirahat dahulu untuk melewati hari jelek. Empu dalam hal ini memang menguasai ilmu Candrasengkala dan perhitungan hari.
Keterangan nomor 2 : Dalam perilaku sehari-hari, bangsa kita (Nusantara) memiliki kepercayaan untuk terhindar dari malapetaka, yaitu kepercayaan pada hitungan hari baik.
3.  Sesudah menentukan hari baik untuk memulai, maka Empu melengkapi sesaji untuk upacara memohon ijin kepada kekuatan-kekuatan alam yang juga merupakan ciptaan sang Yang Tunggal. Sesajinya ada 2 (dua) macam yaitu sesaji baku yang dilakukan turun temurun sesuai pakem, seperti tumpeng, bunga setaman, bunga tiga rupa, pisang raja, jenang merah, jenang baro-baro, jenang rajah, jenang bolong, bekakak ayam, sambel goreng ati, kinangan tembakau, daun sirih, kapur sirih, teh pahit, kopi pahit dan lampu minyak, diseling dengan membakar kemenyan. Sesaji yang kedua disebut sesaji barikan, merupakan sesaji tambahan karena Empu mendapat petunjuk atau inspirasi misalnya harus menambahkan telur mata sapi, ayam berbulu putih atau yang lainnya, kemudian disantap bersama-sama. Empu memang menguasai ilmu Sarono atau ilmu sesaji, satu persatu dari sesaji itu memiliki perlambangan yang tidak semua orang tahu artinya.
Keterangan nomor 3 : Sesuai kepercayaan maguru alam sebagai interaksi manusia dengan alam, muncul kesadaran keikhlasan untuk melakukan ‘persembahan’ kepada Tuhan perwujudan alam yang menghidupinya (alam semestawi). ‘Persembahan’ manusia kepada alam dengan perlambangannya menjadi pengharapan dan atau kebalikannya seolah alam ‘meminta’ untuk dilakukannya. Kata ‘meminta’ dalam konteks sebagai inspirasi manusia mendapat gambaran mengetahui situasi ketimpangan alam yang membutuhkan keharmonisannya. ‘Persembahan’ itu disebut sesaji (menyajikan ...), maka dalam prosesi penciptaan keris dilakukan sesaji pokok(sesuai aturan turun-temurun) serta ada sesaji barikan.
4.      Pengucapan mantra, pada jaman dahulunya mantra masih berbahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi, tetapi setelah Majapahit runtuh mulai berubah secara do’a Islam. Antara lain jaman dahulu dimulai dengan mengucap Hong Wilaheng, atau niat ingsun, maka jaman para wali dimulai dengan Bismillah hirrahmanirahim .... dan seterusnya.
Keterangan nomor 4 : Mantra dapat didefinisikan sebagai suara, bunyi, kata, atau kelompok kata yang dianggap mampu menciptakan transformasi. Mantra bervariasi sesuai dengan filosofi yang berhubungan dengan tujuan mantra. Dilakukan antara lain, termasuk dalam upacara-upacara permohonan hujan, keberkahan, menghindari bahaya, atau menghapuskan musuh. Setiap kelompok manusia atau suku bangsa memiliki mantra tersendiri, termasuk orang Jawa sejak jaman dahulu kala. Istilah ’mantra’ pertama ditulis tercatat pada adanya tradisi berasal dari Vedic (tradisi India, di masyarakat Jawa kuno sudah ada tetapi tidak ditemukan catatannya), kemudian menjadi bagian penting dalam tradisi dan praktek masyarakatnya. Begitu pula, akhirnya menjadi dasar spiritual pada Hinduisme, Buddhisme, Sikhisme dan Jainisme. Penggunaan mantra kini meluas diberbagai gerakan spiritual yang sebelumnya ada pada tradisi-tradisi di Timur. Suatu “mantra” diucapkan dan digetarkan melalui sanubari manusia secara berulang-ulang, bahkan dari abad ke abad telah dilakukan, sehingga seolah terjadi sebuah konvensi (perjanjian) dengan alam semesta sehingga mantra itu memiliki kekuatannya. Mantra lahir dari olah “rasa” yang tinggi dalam proses spiritualisasi manusia dengan menyembah kepada Tuhan sebagai manifestasi alam dan kehidupan. Sehingga “mantra” menjadi wujud kekuatan itu sendiri, siapapun mengucapkan mantra akan merasakan hasilnya.
5.      Setelah kodokan jadi, lalu dilakukan tuguran/begadang, sambil kodokan itu diletakkan di alam terbuka agar ada penyatuan kekuatan dengan rembulan atau bintang di angkasa. Menjelang pagi sering terjadi peristiwa gaib yang nantinya disimpulkan oleh Empu, untuk nama gelar keris yang dihaturkan kepada Raja atau pemesannya. Tata cara tahap ini disebut ‘sirepan’, Empu bersama panjak dan tetangga bahkan teman sesama empu ikut begadang hingga subuh, sambil ditemani makanan kecil dan minuman. Makanan khas yang disajikan adalah wajik atau ketan yang dimasak dengan santan.
Keterangan nomor 5 : Perilaku prihatin atau ”nglakoni” merupakan tradisi dalam Kejawen. Maka dalam proses penciptaan keris juga ada tahap-tahap dimana dilakukan ritual yang sederhana tetapi bermakna dalam. Bakalan keris (kodokan) dipersembahkan dan dipersatukan kembali dengan alam, agar saling doyo-dinoyo (saling mendayai), didasari sebuah pemaknaan bahwa ”aku bukanlah siapa-siapa”; artinya sang Empu melakukan observasi diluar obyeknya, seolah dia hanya tangan-tangan yang ’dipakai’ untuk menciptakannya. Tahap’sirepan’ merupakan ekspresi kultural memaknai kerukunan, kegotong-royongan, toleransi, kerjasama, saling mengapresiasi, kumpul-kumpul tetangga. Hal tersebut merupakan bagian kecil dari peradaban bangsa Nusantara yang masih tetap dipelihara.
6.      Setelah keris yang digarap sudah berwujud atau selesai, masuklah tahap nyepuh atau mengeraskan besi. Empu menyiapkan tabung dari bambu yang diisi minyak kelapa, dengan dilakukan ritual dan sesaji, biasanya hanya tumpeng kecil, bunga tiga rupa dan uang recehan untuk jajan pasar para lelembut, sambil dibakari kemenyan. Keris dimantrai berulang-ulang sesuai dengan tuah yang diinginkan. Keris kemudian dibakar membara dicelupkan ke dalam bumbung yang berisi minyak itu. Ada diantaranya yang pucuknya dibakar ulang kemudian dilakukansepuh dilat yaitu ujung keris yang membara dijilat oleh kyahi empu sakti, sebelumnya dibacakan mantra sastra pinodati, sastra gigir dan rajah kalacakra.
Keterangan nomor 6 : Secara umum keris diagungkan oleh kawula perkerisan; antara lain pada keunikan teknologinya. Namun kurangnya informasi dalam hal pengerasan baja atau ‘proses sepuh’ keris pada waktu itu tidak diketahui tujuan yang sebenar-benarnya. Dalam tinjauan spiritual, prosesi penciptaan keris pada tahap sepuh ternyata aksentuasinya justru pada diadakannya ritual dan sesaji sebagai penyembahan kepada Gusti serta untuk ‘kulo nuwun’ kepada baureksa disekitarnya. Bahkan ‘Uang receh’ yang disebutkan adalah untuk jajan pasar para lelembut (makhluk halus); merupakan suatu kompensasi jika ada kelalaian atau kekurangan dalam sesajinya. Uang recehan itu bisa dibelanjakannya sendiri (makhluk halus) ke pasar. Kemudian pada kalimat : “Ada diantaranya yang pucuknya dibakar ulang kemudian dilakukan sepuh dilat yaitu ujung yang dibakar membara dijilat oleh Empu sakti dibacakan sastra pinodati, sastra gigir dan rajah kalacakra”.
Sepuh dilat adalah ritual berupa prosesi dengan menjilat sebilah besi membara biasanya pisau membara yang kemudian pisau itu dihentakkan (dicelup) pada air bunga, sebagai perlambangan bersatunya dua kekuatan (antitesis). Ketika api dan air bersatu, disertai mantra sang empu terucap, maka tertanamlah kekuatan pada sebilah keris yang disepuh dilat. Sepuh dilat dapat diartikan sebagai “ngenjingaken doyo” (memantek Yoni). Sepuh dilat adalah bagian dari ritual manembah; yang dapat dijelaskan sebagai pembersihan diri. Pembersihan diri yang disebut ‘asesuci’ itu ada empat macam yaitu asesuci dengan media bumi, angin, tirta dan api. Asesuci bumi dan angin tidak dilakukan (secara komunal) karena ritual ini sangat pribadi dan merupakan tahapan yang tinggi. Maka asesuci biasanya dilakukan dengan media ‘air/tirta’ dan ‘api’. Dalam ritual asesuci ’api’ dilakukan 7 (tujuh) kali jilatan; sesuai diagram chandra manusia yang menyatakan bahwa manusia memiliki 7 konstruksi jasmani dimana di dalam kejawen Sastra Jendra disebut ’sapta arga’ (bulu, kulit, daging, urat, darah, tulang, sungsum). Maka 7 (tujuh) konstruksi itu dibersihkan (disucikan) satu per satu. Sedangkan ’asesuci air’ adalah mandi keramas dengan bunga-bungaan, hal ini sangat lazim dilakukan.
7.      Kemudian keris direndam ke dalam air kelapa yang sudah basi, agar kerak-kerak besi pembakaran terlepas, biasanya direndam semalam sehingga keris cemerlang guwayanya, serta muncul pamornya yang indah. Setelah itu keris dibersihkan dengan air jeruk nipis hingga putih, lalu diwarangi. Keris yang selesai diwarangi diolesi minyak kemudian disanggarkan dengan cara ditaruh ditempat pedupaan beberapa hari sampai melewati Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon. Hal ini dilakukan agar mantranya betul-betul manjing dan keris betul-betul ampuh. Setelah selesai semua, keris dibuat warangkanya yang cocok oleh mranggi/tukang warangka yang mahir dan biasanya warangka bisa terkunci.
Keterangan nomor 7 : Kalimat yang menarik pada point 7 ini adalah dalam ada kata disanggarkan. Kata ”sanggar”artinya ruang atau rumah pemujaan. Disanggarkan artinya keris diletakkan dalam ruang pemujaan itu. Maksudnya adalah agar semua yang telah dilakukan secara bendawi dan non-bendawi dapat mengendap. Sesuai kepercayaan Kejawen ditentukan meliwati hari tertentu, seperti Jumat Kliwon yang dianggap sebagai hari besar yang membawa berkah atau Selasa Kliwon yang dipercaya sebagai penyatuan kasih Angkasa dan Bumi yang juga disebut Anggoro Kasih (Anggoro = Selasa; Kasih = Kliwon).
Pemahaman Esoterik
Esoteris keris adalah hal-hal non-bendawi pada keris meliputi segala aspeknya; seperti telah diuraikan prosesi pembuatan keris dengan ritual yang menyimpulkan adanya perlakuan esoteristik spiritual dari awal penciptaannya. Keris, secara wujud fisik atau disebut eksoteris memuat pula ’senirupa simbolik’, sesuai karakter dan tuah yang diinginkan, tertuang dalam bentuk keris (disebut dhapur) dan motif pamornya.
Dhapur atau bentuk keris secara senirupa merupakan simbolisasi dari tujuan diciptakannya. Antara lain adanya bentuk keris lurus (dhapur bener) menyimpulkan ketakwaan kepada Yang Maha Kuasa. Dhapur Jangkung (luk3) melambangkan terjangkaunya cita-cita. Dhapur Pandawa (luk 5) agar pemiliknya dapat berdiplomasi dan memiliki watak agung seperti Pandawa lima. Begitu seterusnya hingga dapur yang lekuknya banyak seperti dhapur Ngamper Bantolo (luk 15) yang melambangkan si pemilik bisa menguasai tanah dan wilayah yang luas.
Selain dhapur, ternyata ’keris’ juga diciptakan dengan grand design yang sempurna dan agung; divisualkan pada motif pamor berkaitan dengan tujuan esoteriknya (tuah). Simbol-simbol seni rupa ”pamor” itu digolongkan dalam 5 kelompok; yang diekspresikan dalam media sebidang bilah keris, sesuai ’chandra manusia' dengan pemahaman unsur (anasir) tubuh manusia dan semesta (pandangan Kejawen); antara lain:
1.      Jika pemantraan keris ditujukan untuk kerejekian, pergaulan, dikasihi, kejayaan, kemakmuran, keduniawian atau kehidupan lahiriah lainnya maka motif pamornya ditata berbentuk meliuk-liuk dan berpusar-pusar dilambangkan sesuai karakter ”tirta” (unsur air). Contohnya : wos wutah, udanmas, segoro muncar dsb.
2.      Konfigurasi pamor bergaris-garis seperti lidi berjajar dianggap sebagai simbolisasi penyapu bencana, penolak bala, penolak segala kelicikan, santet dan perlakuan jahat baik secara fisik maupun maya. Serta merupakan simbol kebijaksanaan. Konfigurasi garis-garis tergolong dalam sebutan pamor singkir dan pamor hadeg. Karakter yang tegar ini dilambangkan kekuatan 'bayu' (unsur angin) yang sanggup menyapu segalanya, menerbangkan debu, dedaunan, bahkan atap dengan tidak tampak namun tetap dapat dirasakan keberadaannya.
3.      Pamor rekayasa (dirancang atau pamor rekan) berbentuk motif daun palem, daun genduru, sekar-sekaran, lebih spesifik untuk tuah kejayaan, martabat, kekuasaan, kederajatan pemiliknya. Konfigurasi ini coraknya berjuntai keatas seperti karakter dari kobaran 'agni' (unsur api). Tetap dalam lingkup sebagai representasi alam, contohnya pamor Ron Genduru, Blarak Sinéréd, Sekar Lampés, Sekar Pålå, Sekar Kopi, Mayang Mekar, Pari Sa’uli, dsb.
4.      Kesentosaan juga disimbolkan dengan adanya keris polos tanpa pamor (disebut: keleng) mengibaratkan dalam diri manusia memiliki jiwa pengabdian yang tulus. Keris keleng biasanya dibuat oleh sang Empu untuk kebutuhan ketentraman, orang-orang spiritual, pembela kejujuran dan sifat-sifat kesentosaan lainnya. Karakter unsur 'bantolo' atau 'bumi' disimbolisasikan dengan keris keleng tanpa pamor itu.
5.      Bahwa kemanunggalan ’aku’ atau pancer-nya ditengah saudara empat atau sedulur papat yang dalam proses spiritual adalah tahap transendental, tercapainya kemanunggalan dalam ruang bapa angkasa dan ibu bumi ditengah kiblat timur-selatan-barat-utara dalam ’aku jagad’, sanggup melahirkan kekuatan dahsyat dalam perwujudan goresan ’rajah’. Pamor rajah diciptakan oleh empu yang sakti dengan tujuan tertentu. Hingga saat ini, hanya beberapa bentuk pamor rajah pada keris yang bisa dimengerti seperti rajah ‘batu lapak’ memiliki tuah si pemilik dapat menghilang, lolos dari tembakan, kebal peluru, tidak tampak walaupun di depan mata musuh. Rajah 'pilulut' untuk kasengseman, pèlèt, kebahagiaan seksual, dsb. Ada pula rajah Alif, kalacakra dan masih banyak bentuk rajah yang lain seperti ekspresi abstrak dari sang Empu yang sulit diselami maknanya.



Keris memiliki tiga bagian utama yakni bilah (wilah atau daun keris), ganja (penopang) dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Untuk ganja sendiri tidak selalu ada pada setiap keris. Hal ini tergantung pada si pembuat keris. Keris juga dilindungi dengan sarung yang biasa disebut warangka.
Pembuatan keris pada era ini dapat ditemui disejumlah daerah, seperti Jawa, Madura, dan Makasar. Sekarang pelestarian budaya keris tetap hidup di masyarakat, mulai dari pakem ( tata cara untuk membuat suatu bentuk secara utuh yang mengikuti tradisi ), generasi empu ( sipembuat keris, seperti keturunan Empu). Pusat transaksi keris bisa ditemui seperti di Jakarta , Surabaya, Makasar, Sumenep, dan Jember . Tak hanya di dalam negeri, permintaan keris banyak datang dari luar negeri, khususnya wilayah yang pernah berada dalam pemerintahan Kerajaan Majapahit, seperti Brunei , Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Berangkat dari nilai estetika, spritual, dan sosial yang tinggi itulah tak ayal jika keris Indonesia ditetapkan Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia oleh UNESCO pada tahun 2005. Tentu hal ini sangat membagakan. Namun perlu diingat kebanggaan saja tak cukup untuk menjaga kelestarian nilai budaya keris ini sebagai generasi penerus kita harus menjaga dan melanjutkan pencapaian pendahulu kita.

Untuk melihat foto-foto lengkap kunjungi:http://mardiantorahman.wordpress.com/2014/01/24/puska-10-jpg/

Senin, 20 Januari 2014

KERATON MEMBENTUK IDENTITAS BANGSA


Kebudayaan Daerah yang kita miliki sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia hampir punah dan lenyap dari bumi pertiwi. Sebagian besar lapisan masyarakat lupa akan keberadaan kebudayaan sendiri. Hal itu tentu sangat mengkuatirkan mengingat budaya merupakan identitas sebuah bangsa. Pengaruh budaya asing yang datang dari negara barat yang jauh dari nilai-nilai luhur budaya timur seperti kita, Indonesia, justru semakin kuat mencengkram berbagai sendi kehidupan.


Budaya barat yang dianggap modern oleh kalangan muda-mudi Indonesia telah melumpuhkan jiwa patriotisme dan nasionalisme generasi penerus Indonesia. Sebagai contoh yang sederhana, remaja Indonesia saat ini lebih suka berbagai produk yang beraroma bangsa barat. Mulai dari pakaian, makanan, dan pergaulan diadopsi demi predikat maju dan modern. Bahkan, hasil cipta dan karsa bangsa sendiri dipersepsikan kampungan, jadul, dan berbagai label sinisme yang lain. Jika hal ini berlangsung terus-menerus jangan harap bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka seutuhnya.  Kita akan terus menjadi bangsa plagiat dan pendompleng bangsa lain, tidak akan pernah menjadi bangsa pionir.
Kita perlu bernostalgia dengan dengan sejarah. Membuka kembali halaman masa silam demi menatap dan melangkah di masa depan. Sejarah mencatat sebelum terbentuk Negara Kesatuan republik Indonesia nusantara memiliki banyak keraton atau kerajaan. Keraton-keraton tersebut menjadi identitas sebuah kelompok baik suku maupun budaya. Seiring dengan bergulirnya kemerdekaan republik ini bersatulah semuanya ke dalam NKRI. Artinya, perbedaan itu baik suku, bahasa, agama dan budaya, bukan merupakan masalah melainkan sebuah anugerah. Hal ini tercermin dalam semboyan bangsa, ’Bhinneka Tunggal Ika’.
Dalam semboyan itu tentu kita bisa memahami bahwa perbedaan bukanlah suatu masalah untuk bersatu. Artinya, potensi-potensi positif dalam perbedaan itulah yang perlu kita jaga dan lestarikan menjadi sebuah identitas baru, yaitu Indonesia yang memiliki keberagam budaya. Keberagaman budaya itulah yang akan menjadi identitas dan daya pikat sebuah bangsa.

Membentuk identitas bangsa sama saja membentuk kepribadian. Seperti disinggung sebelumnya kepribadian bangsa ini adalah keanekaragaman. Oleh karena itu, dalam memaksimalkan kenekaragaman itu keletarian dan keberlangsungan sebuah keraton merupakan hal mutlak. Langkah itu perlu mengingat peran keraton sebagai pusat sosial sebuah kebudayaan daerah.



Keraton berasal dari kata-kata ka + ratu + an. Keraton juga disebut kedaton yang berasal dari kata-kata ka + datu + an yaitu tempat datu-datu atau ratu-ratu. Dalam Bahasa Indonesia keraton diartikan istana. Jadi keraton ialah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, arti filsafat dan arti kebudayaan.



Ungkapan keraton sebagai pusat sosial dari sebuah kebudayaan tentu benar adanya. Sebagai contoh keraton Yogyakarta. Keraton yogyakarta tidak hanya melaksanakan fungsinya sebagai wahana pelestarian budaya tetai juga melakukan interaksi terhadap masyarakat sebagai wujud rasa sosial yang tinggi, mengingat bahwa Keraton Yogyakarta merupakan kediaman gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwana X.
Nilai-nilai budaya di Keraton Yogyakarta dapat dilihat dalam pelaksanaan ritual semedi. Keraton meyakini bahwa orang yang sedang bersemedi maka ia selalu berada dalam keagungan Tuhan YME. Selain itu, Keraton Yogyakarta melakukan upacara ritual tiap tahunnya yang dikenal dengan nama upacara grebeg. Grebeg adalah upacara keagamaan yang dilakukan 3 kali dalam setahun. Bertepatan pada lahinya Nabi Muhammad SAW (grebeg Maulud), hari raya idul fitri (grebeg Syawal) dan pada hari raya idul adha (grebeg Besar). Nilai-nilai budaya yang lain seprti seni pertunjukan terdapat dalam ritual fungsional istana. Di antaranya, adalah pertunjukan Tari Bedoyo yang disucikan, pertunjukan wayang kulit, wayang wong dan lain-lain.
     

Terlihat jelas bahwa Keraton merupakan pusat sosial budaya. Selain itu, pelestarian keraton akan berdampak juga terhadap pelestarikan nilai-nilai sosio kultural bangsa Indonesia secara turun temurun. Dengan demikian keraton tetap harus lestari guna menjaga identitas bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Untuk foto-foto lengkap kunjungi:  http://mardiantorahman.wordpress.com/2014/01/24/puska-10-jpg/

Kamis, 12 Desember 2013

Memotret Tarian Budaya Bangsa


Wayang orang: Gatot Kaca kembar


Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia mencakup  kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat. Selain itu, kebudayaan dapat diartikan seluruh pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan dan pengalamannya guna dijadikan pedoman hidup. Kebudayaan dikaji asal kata bahasa sansekerta berasal dari kata budhayah yang berarti budi atau akal.  Dalam bahasa latin, kebudayaan berasal dari kata Colere, yang berarti mengolah tanah. Jadi kebudayaan secara umum dapat diartikan sebagai “segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi (pikiran) manusia dengan tujuan untuk mengolah tanah atau tempat tinggalnya, atau dapat pula diartikan segala usaha manusia untuk dapat melangsungkan dan mempertahankan hidupnya didalam lingkungannya”. Budaya dapat pula diartikan sebagai himpunan pengalaman yang dipelajari, mengacu pada pola-pola perilaku yang ditularkan secara sosial tertentu.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengartikan kebudayaan sebagai peninggalan sejarah yang bersifat tradisional. Seperti tarian daerah, alat musik daerah, senjata tradisional, bahasa daerah, dan lain sebagainya. Di negara kita, hampir setiap propinsi memilki kebudayaan tradisionalnya sendiri. Oleh sebab itu negara kita dijuluki negara yang kaya akan budaya.
Pada kesempatan ini akan dibicaran mengenai tarian daerah Indonesia. Keanekaragaman seni tari yang ada di Indonesia membuat negeri ini kaya akan adat kebudayaan kesenian. Dengan mengenal tarian adat yang ada di indonesia mudah-mudahan membuat kita lebih mencintai negara kita.

                                     
Tari Tor-tor


Tarian tradisional Indonesia mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman suku bangsa dan budaya Indonesia. Kurang lebih 700 suku bangsa di Indonesia mencerminkan akar budaya bangsa Austronesia, Melanesia, dan pengaruh berbagai budaya negara-negara di kawasan Asia. Selain itu, tarian tradisional dipengaruhi budaya barat yang diserap melalui kolonialisasi. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki berbagai tarian khas. Tarian yang terdapat di Indonesia tidak kurang dari 3000 jenis tarian. 

Tari adalah gerak tubuh secara berirama yang dilakukan di tempat dan waktu tertentu untuk keperluan pergaulan, mengungkapkan perasaan, maksud, dan pikiran. Bunyi-bunyian yang disebut musik pengiring tari mengatur gerakan penari dan memperkuat maksud yang ingin disampaikan. Gerakan tari berbeda dari gerakan sehari-hari seperti berlari, berjalan, atau bersenam. Gerak di dalam tari bukanlah gerak yang realistis, melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif dan estetis.
Sebuah tarian sebenarnya merupakan perpaduan dari beberapa buah unsur,yaitu wiraga (raga), Wirama (irama), dan Wirasa (rasa). Ketiga unsur ini melebur menjadi bentuk tarian yang harmonis. Unsur utama dalam tari adalah gerak. Gerak tari selalu melibatkan unsur anggota badan manusia. Unsur- unsur anggota badan tersebut didalam membentuk gerak tari dapat berdiri sendiri, bergabung ataupun bersambungan.

Tari tradisional adalah tari yang telah melampaui perjalanan perkembangan yang cukup lama, dan senantiasa berfikir pada pola-pola yang telah mentradisi. Sebelum bersentuhan dengan pengaruh asing, suku bangsa di kepulauan Indonesia sudah mengembangkan seni tarinya tersendiri, hal ini tampak pada berbagai suku bangsa yang bertahan dari pengaruh luar dan memilih hidup sederhana di pedalaman, misalnya di Sumatra (Suku Batak, Nias, Mentawai), di Kalimantan (Dayak, Punan, Iban), di Jawa (Badui), Sulawesi (Toraja, Minahasa), Kepulauan Maluku dan Papua (Dani, Asmat, Amungme).
Tarian Kancet Papatai

Banyak ahli antropologi percaya bahwa tarian di Indonesia berawal dari gerakan ritual dan upacara keagamaan. Tarian semacam ini biasanya berawal dari ritual, seperti tari perang, tarian dukun untuk menyembuhkan atau mengusir penyakit, tarian untuk memanggil hujan, dan berbagai jenis tarian yang berkaitan dengan pertanian seperti tari Hudoq suku Dayak. Tarian lain diilhami oleh alam, misalnya Tari Merak dari Jawa Barat. Tarian jenis purba ini biasanya menampilkan gerakan berulang-ulang seperti tari Tor-Tor suku Batak dari Sumatra Utara. Tarian ini juga bermaksud untuk membangkitkan roh atau jiwa yang tersembunyi dalam diri manusia, juga dimaksudkan untuk menenangkan dan menyenangkan roh-roh tersebut. Beberapa tarian melibatkan kondisi mental seperti kesurupan yang dianggap sebagai penyaluran roh ke dalam tubuh penari yang menari dan bergerak di luar kesadarannya. Tari Sanghyang Dedari adalah suci tarian istimewa di Bali, dimana gadis yang belum beranjak dewasa menari dalam kondisi mental tidak sadar yang dipercaya dirasuki roh suci. Tarian ini bermaksud mengusir roh-roh jahat dari sekitar desa. Tari Kuda Lumping dan tari keris juga melibatkan kondisi kesurupan.

Tari Zapin Melayu

Tari tradisional Indonesia mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman bangsa Indonesia. Beberapa tradisi seni tari seperti ; tarian Bali, tarian Jawa, tarian Sunda, tarian Minangkabau, tarian Palembang, tarian Melayu, taruan Aceh, dan masih banyak lagi adalah seni tari yang berkembang sejak dahulu kala, meskipun demikian tari ini tetap dikembangkan hingga kini. Beberapa tari mungkin telah berusia ratusan tahun, sementara beberapa tari berlanggam tradisional mungkin baru diciptakan kurang dari satu dekade yang lalu. Penciptaan tari dengan koreografi baru, tetapi masih di dalam kerangka disiplin tradisi tari tertentu masih dimungkinkan. Sebagai hasilnya, munculah beberapa tari kreasi baru. Tari kreasi baru ini dapat merupakan penggalian kembali akar-akar budaya yang telah sirna, penafsiran baru, inspirasi atau eksplorasi seni baru atas seni tari tradisional.
Tari Piring Padang

Berdasarkan koreografinya, jenis tari dibedakan menjadi :
  1. Tari tunggal ( Solo ), Tari tunggal adalah tari yang diperagakan oleh seorang penari, baik laki-laki maupun perempuan. Contohnya tari Golek ( Jawa Tengah ).
  1. Tari berpasangan ( duet/pas de duex), Tari berpasangan adalaah tari yang diperagakan oleh dua orang secara berpasangan. Contohnya tari Topeng (Jawa Barat).
  1. Tari kelompok ( Group choreography), Tari kelompok yaitu tari yang diperagakan lebih dari dua orang.

Dalam sebuah tarian (terutama tari kelompok), pola lantai perlu diperhatikan. Ada beberapa macam pola lantai pada tarian, antara lain :
  1. Pola lantai vertikal : Pada pola lantai ini, penari membentuk garis vertikal, yaitu garis lurus dari depan ke belakang atau sebaliknya.
  2.  Pola lantai Horizontal : Pada pola lantai ini, penari berbaris membentuk garis lurus ke samping.
  3. Pola lantai diagonal : Pada pola lantai ini, penari berbaris membentuk garis menyudut ke kana atau ke kiri.
  4.  Pola lantai melingkar : Pada pola lantai ini, penari membentuk garis lingkaran.
Jenis Tari Tradisional
1.    Tari Keraton 
Tari keraton adalah tari yang semula berkembang dikalangan kerajaan dan bangsawan. Tarian di Indonesia mencerminkan sejarah panjang Indonesia. Beberapa keluarga bangsawan; berbagai istana dan keraton yang hingga kini masih bertahan di berbagai bagian Indonesia menjadi benteng pelindung dan pelestari budaya istana. Perbedaan paling jelas antara tarian istana dengan tarian rakyat tampak dalam tradisi tari Jawa. Strata masyarakat Jawa yang berlapis-lapis dan bertingkat tercermin dalam budayanya. Jika golongan bangsawan kelas atas lebih memperhatikan pada kehalusan, unsur spiritual, keluhuran, dan keadiluhungan. Masyarakat kebanyakan lebih memperhatikan unsur hiburan dan sosial dari tarian. Sebagai akibatnya tarian istana lebih ketat dan memiliki seperangkat aturan dan disiplin yang dipertahankan dari generasi ke generasi, sementara tari rakyat lebih bebas, dan terbuka atas berbagai pengaruh.
                                      
Perlindungan kerajaan atas seni dan budaya istana umumnya digalakkan oleh pranata kerajaan sebagai penjaga dan pelindung tradisi mereka. Misalnya para Sultan dan Sunan dari Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta terkenal sebagai pencipta berbagai tarian keraton lengkap dengan komposisi gamelan pengiring tarian tersebut. Tarian istana juga terdapat dalam tradisi istana Bali dan Melayu. Seperti di Jawa juga menekankan pada kehalusan, keagungan dan gengsi. Tarian Istana Sumatra seperti bekas Kesultanan Aceh, Kesultanan Deli di Sumatra Utara, Kesultanan Melayu Riau, dan Kesultanan Palembang di Sumatra Selatan lebih dipengaruhi budaya Islam, sementara Jawa dan Bali lebih kental akan warisan budaya Hindu-Buddhanya.


2.    Tari Rakyat 
Tari Rakyat merupakan tari yang hidup dan berkembang dikalangan rakyat. Tarian Indonesia menunjukkan kompleksitas sosial dan pelapisan tingkatan sosial dari masyarakyatnya, yang juga menunjukkan kelas sosial dan derajat kehalusannya. Berdasarkan pelindung dan pendukungya, tari tradisional adalah tari yang dikembangkan dan didukung oleh rakyat kebanyakan, baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Dibandingkan dengan tari istana (keraton) yang dikembangkan dan dilindungi oleh pihak istana. Tari rakyat Indonesia relatif lebih bebas dari aturan yang ketat dan disiplin tertentu, meskipun demikian beberapa langgam gerakan atau sikap tubuh yang khas seringkali tetap dipertahankan. Tari rakyat lebih memperhatikan fungsi hiburan dan sosial pergaulannya daropada fungsi ritual.
                              
Tari Ronggeng dan tari Jaipongan suku Sunda adalah contoh yang baik mengenai tradisi tari rakyat. Keduanya adalah tari pergaulan yang lebih bersifat hiburan. Seringkali tarian ini menampilkan gerakan yang dianggap kurang pantas jika ditinjau dari sudut pandang tari istana, akibatnya tari rakyat ini seringkali disalahartikan terlalu erotis atau terlalu kasar dalam standar istana. Meskipun demikian tarian ini tetap berkembang subur dalam tradisi rakyat Indonesia karena didukung oleh masyarakatnya. Beberapa tari rakyat tradisional telah dikembangkan menjadi tarian massal dengan gerakan sederhana yang tersusun rapi, seperti tari Poco-poco dari Minahasa Sulawesi Utara, dan tari Sajojo dari Papua.
                                  

Senin, 30 September 2013

Menangkap Keunikan Budaya Pulau Poteran dengan ujung lensa

pertunjukan atraksi jaran kencak setelah penganten selesai diarak.

Tradisi atau kebiasaan yang kerap terjadi di tengah masyarakat tradisional, kadang dianggap aneh, tidak lazim bahkan menjadi lucu. Hal ini pula yang terjadi di masyarakat Pulau Poteran, tepatnya di wilayah kecamatan Talango Kabupaten Sumenep. Wilayah kecamatan yang terletak sekitar 12 km dari pusat kota Sumenep itu, untuk mencapai tujuan harus menyeberang selat yang berjarak sekitar 10 – 15 menit dengan menumpang perahu atau perahu tongkang, dengan mata pencaharian nelayan, petani tegalan,  sebagian kecil pedagang.
Tidak tampak sesuatu yang aneh dan menarik bila memasuki wilayah yang berpenduduk 41107 jiwa (2012), kecuali pulau seluas sekitar 48,8 km2 itu dikitari pantai. Namun dari keunikan tradisi masyarakatnya ditempat itu pula terdapat tradisi masyarakat yang unik dan menarik yaitu tradisi pengantin anak (kecil), bukan pengantin anak-anak “tan-pangantaran” sebagaimana tradisi permianan anak di Sumenep.
Pengantin anak, atau pengantin kecil, dilakukan sebagaimana pengantin dewasa, diselenggarakan secara formal sebagaimana terjadi pada orang dewasa. Sebagaimana terjadi pada pengantin dewasa, pengantin anak ini dilakukan dengan proses mulai awal peminangan, pertunangan (bebekalan) sampai proses resepsi perkawinan. Namun kali ini tidak dilakukan ijab kabul pernikahan. Mengapa demikian?, memang kedua mempepelai masih belum pantas dan tidak layak diikat sebagai suami istri.



Gaya Hidup.
Gaya hidup tampaknya kerap membebani masyarakat setempat untuk menunjukkan kepada masyarakat  lain bahwa dia (mereka) mampu melakukan suatu hajatan besar dalam memeriahkan “perkawinan” anak-anaknya, meski harus dilakukan jauh sejak dini.
Bahkan konon, proses pelamaran sampai pertunanganpun bisa terjadi dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Hal ini tentu dilatari hasil kesepakatan dari kedua belah pihak (orang tua dengan calon besannya) dengan ikatan perjanjian, “bila nanti anakmu lahir dan sudah waktunya akan kuminta kujadikan menantuku”, demikian kira-kira ungkapan perjanjiannya.
Tapi kerap sang orang tua tidak betah menunggu sampai anak menjadi remaja atau dewasa. Mereka  justru terburu-buru untuk segera diramaikan dalam prosesi pengantinan untuk memastikan bahwa dia menjadi kebanggaan keluarga, meski anak tersebut masih belum dewasa, dan bahkan masih “bau kencur”. Selain itu, konon agar sang kakek atau  nenek mumpung masih ada dan hidup biar ikut merasakan kegembiraan menyaksikan cucu-cucunya duduk di pelaminan.
                   
Perjodohan sejak dini, khususnya bagi masyarakat yang masih terpaku pada tradisi ini, tentu merupakan bagian terpenting dalam komunitas keluarga dan lingkungannya. Sebab kalau sampai terjadi keterlambatan tidak segera meramaikan pengantinan ini tentu akan menjadi aib bagi sanak keluarga. Karena dianggap sang anak tidak laku suami atau tidak laku sebagai istri. Untuk itulah, akan menjadi prestise para orang bila segera menjodohkan anaknya, dan secepat itu pula memeriahkan hajatan  perkawinan putra-putrinya.
Tradisi ini memang sudah lama berlangsung sejak nenek moyang mereka secara turun menurun. Perkawinan  usia dini dalam perpekstif hukum memang tidak menguntungkan, bahkan membelenggu hak-hak anak untuk menentukan pilihan hidupnya. Namun tradisi tetap tradisi, yang sering menjadi bagian “pembenaran”  pada masyarakat tertentu. Penjodohan sejak dini tampaknya sudah mendarah daging di wilayah pulau ini. Untuk itu, di pulau ini kerap sulit menemukan garis remaja yang singgle atau jomblo. Kecuali masyarakat tertentu yang mengabaikan tradisi tersebut.
                                                         
Sebagaimana tradisi pengantin masyarakat Sumenep umumnya, dalam menentukan perjodohan dumulai dari ngen-angenan atau kabhar, yaitu orang tua berusaha untuk mencari calon isteri untuk anaknya yang kelak dan berkeinginan mencari pasangan hidup dengan meminta bantuan kepada seseorang yang disebut dengan pangade’, kemudian dilanjutkan  arabas paghar, yaitu peran sang pangade’ mencari keterangan calon pengantin yang diincarnya melalui tetangga atau kerabat, setelah melalui proses awal yang begitu panjang maka dimulailah proses lanjutan yang disebut masa bertunangan alias abakalan, lalu nyaba’ jhajan atau lamaran dan seterusnya sampai pada resepsi perkawinan sebagai kisah diatas. Namun tidak menutup kemungkian terjadinya perjodohonan ini tanpa “dibantu” pangade’, tapi kesepakatan secara langsung kedua belah pihak.
Namun demikian kerap yang terjadi pilihan calon suami atau istri jatuh pada orang-orang dekat, yaitu keluarga dekat atau famili, bahkan  persaudaraan yang tidak terikat muhrim. Hal ini untuk menjadi kesinambungan kekeluargaan, dan sudah jelas teruji bebet, bobot dan bibitnya, serta urusan warisan yang nantinya tidak akan jatuh pada pihak atau keluarga orang lain.
Mengingat peristiwa ini menjadi gaya hidup, biayanya prosesi akan memakan nominal cukup besar. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi tuan rumah bila pada saat perayaan macam ini bisa memotong 3 – 5 sapi serta mengundang sekian ratus bahkan ribu orang untuk hadir dan menyaksikan resepsi pengantin ini.
Namun tentu hajat besar ini tidak dilakukan dengan cara resepsi, namun umumnya dilakukan dengan mengundang “jam sehari”, yaitu selama satu hari itu (bahkan sampai 3 hari) terundang bisa hadir setiap saat, pagi, siang, sore atau malam hari, dengan cara lesehan. Kadang pula didatangkan pula klenengan dan tayub (tetabuhan gamelan),topeng dhalang,dan lodrok. Hal ini tergantung sejauh mana rasa prestise tuan rumah dipertaruhkan.


Pengatin yang Diarak
Keramaian di bawah terop dan suara loudspeeker yang nyaring saja tidaklah lengkap tanpa diawali dengan arak-arakan sang mempelai. Dimulai dan diberangkatkan dari rumah besan (mempelai laki-laki) atau tempat yang dianggap tepat kearah menuju tempat hajatan, maka diarakkan pengantin anak itu dengan menunggang kuda, yaitu kuda kenca’ atau kuda serek dengan iringan musik saronen serta sejumlah pengantar (umumnya wanita)  dengan mengenakan pakaian adat rakyat Madura dengan membawa sejumlah bawaan (penampan)  beriringinan menuju tempat hajatan.
Pada  saat itulah, pergelaran menjadi menarik, selain terdapat kedua mempelai penagntin anak naik kuda, sang kudapun ikut menari-nari mengikuti irama saronen, sementara sang pengiring di bagian belakang kerap melemparkan senyum manis sebagaimana senyum kesederhaan gadis desa.
Namun kerap yang terjadi, iringan-iringan itu tidak langsung menuju ke pelaminan, tapi justru diarahkan ke tempat guru ngaji, dimana kedua atau salah satu anak belajar mengaji atau sesepuh keluarga/masyarakat mereka untuk meminta doa restu. Baru pada malam harinya, kedua mempelalai di didudukkan disinggasana pelaminan.
Meski telah menjadi pengantin, setlah acara hajatan ini berakhir, kedua anak tersebut tentu tidak ditempatkan dalam satu kamar bersama. Disini tidak ada bulan madu, tidak ada malam pertama. Setelah itu, mereka dipulangkan ke rumah masing-masing untuk kemudian, ya seperti anak-anak umumnya, mereka bermain lain dengan anak-anak sebayanya. Tanpa beban, tanpa harus melakukan ritual lainnya.
Uniknya meski sang punya hajat harus mengeluarkan anggaran cukup besar, konon kisaram 75 – 150 jutaan itu, namun demikian secara berlanjut perayaan hajatan pengantin macam itu terus berlangsung dan sampai sekarang masih tetap berlangsung.
Selain itu, memang di pulau Poteran ada tradisi yang juga menjadi bagian dari proses hajatan perkawinan, yaitu tradisi tompangan (tumpangan), yaitu sejumlah pihak (sanak famili, kerabat tetangga, atau terundang) yang dengan sengaja menyerahkan tumpangan uang (atau bentuk barang: beras, sapi, gula dll) dengan nominal cukup besar, sehingga suatu saat bila yang menyerahkan tumpangan itu punya hajat tentu untuk si penerima tumpangan akan mengembalikan senilai yang diberikan.
                     

Dan bahkan ini berlaku kepada siapa saja yang terundang apabila patolong (sumbangan)nya kecil, tentu nanti bila giliran kembaliannya akan kecil pula. Dan mungkin inilah penyebab lain, mengapa masyarakat Popteran terburu-buru melakukan hajatan besar-besaran sekedar untuk meramaikan “perkawinan” anak-anaknya, karena investasi yang dimiliki banyak berada di tangan orang luar.
Yang menarik, jutsru meski pernikahan anak masyarakat Poteran melalui proses perjodonan dini dari orang tua, umumnya mereka hidup langgeng setelah melaksanakan pernikahan sah ketika mereka beranjak dewasa.

Sumber: http: