Senin, 30 September 2013

Menangkap Keunikan Budaya Pulau Poteran dengan ujung lensa

pertunjukan atraksi jaran kencak setelah penganten selesai diarak.

Tradisi atau kebiasaan yang kerap terjadi di tengah masyarakat tradisional, kadang dianggap aneh, tidak lazim bahkan menjadi lucu. Hal ini pula yang terjadi di masyarakat Pulau Poteran, tepatnya di wilayah kecamatan Talango Kabupaten Sumenep. Wilayah kecamatan yang terletak sekitar 12 km dari pusat kota Sumenep itu, untuk mencapai tujuan harus menyeberang selat yang berjarak sekitar 10 – 15 menit dengan menumpang perahu atau perahu tongkang, dengan mata pencaharian nelayan, petani tegalan,  sebagian kecil pedagang.
Tidak tampak sesuatu yang aneh dan menarik bila memasuki wilayah yang berpenduduk 41107 jiwa (2012), kecuali pulau seluas sekitar 48,8 km2 itu dikitari pantai. Namun dari keunikan tradisi masyarakatnya ditempat itu pula terdapat tradisi masyarakat yang unik dan menarik yaitu tradisi pengantin anak (kecil), bukan pengantin anak-anak “tan-pangantaran” sebagaimana tradisi permianan anak di Sumenep.
Pengantin anak, atau pengantin kecil, dilakukan sebagaimana pengantin dewasa, diselenggarakan secara formal sebagaimana terjadi pada orang dewasa. Sebagaimana terjadi pada pengantin dewasa, pengantin anak ini dilakukan dengan proses mulai awal peminangan, pertunangan (bebekalan) sampai proses resepsi perkawinan. Namun kali ini tidak dilakukan ijab kabul pernikahan. Mengapa demikian?, memang kedua mempepelai masih belum pantas dan tidak layak diikat sebagai suami istri.



Gaya Hidup.
Gaya hidup tampaknya kerap membebani masyarakat setempat untuk menunjukkan kepada masyarakat  lain bahwa dia (mereka) mampu melakukan suatu hajatan besar dalam memeriahkan “perkawinan” anak-anaknya, meski harus dilakukan jauh sejak dini.
Bahkan konon, proses pelamaran sampai pertunanganpun bisa terjadi dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Hal ini tentu dilatari hasil kesepakatan dari kedua belah pihak (orang tua dengan calon besannya) dengan ikatan perjanjian, “bila nanti anakmu lahir dan sudah waktunya akan kuminta kujadikan menantuku”, demikian kira-kira ungkapan perjanjiannya.
Tapi kerap sang orang tua tidak betah menunggu sampai anak menjadi remaja atau dewasa. Mereka  justru terburu-buru untuk segera diramaikan dalam prosesi pengantinan untuk memastikan bahwa dia menjadi kebanggaan keluarga, meski anak tersebut masih belum dewasa, dan bahkan masih “bau kencur”. Selain itu, konon agar sang kakek atau  nenek mumpung masih ada dan hidup biar ikut merasakan kegembiraan menyaksikan cucu-cucunya duduk di pelaminan.
                   
Perjodohan sejak dini, khususnya bagi masyarakat yang masih terpaku pada tradisi ini, tentu merupakan bagian terpenting dalam komunitas keluarga dan lingkungannya. Sebab kalau sampai terjadi keterlambatan tidak segera meramaikan pengantinan ini tentu akan menjadi aib bagi sanak keluarga. Karena dianggap sang anak tidak laku suami atau tidak laku sebagai istri. Untuk itulah, akan menjadi prestise para orang bila segera menjodohkan anaknya, dan secepat itu pula memeriahkan hajatan  perkawinan putra-putrinya.
Tradisi ini memang sudah lama berlangsung sejak nenek moyang mereka secara turun menurun. Perkawinan  usia dini dalam perpekstif hukum memang tidak menguntungkan, bahkan membelenggu hak-hak anak untuk menentukan pilihan hidupnya. Namun tradisi tetap tradisi, yang sering menjadi bagian “pembenaran”  pada masyarakat tertentu. Penjodohan sejak dini tampaknya sudah mendarah daging di wilayah pulau ini. Untuk itu, di pulau ini kerap sulit menemukan garis remaja yang singgle atau jomblo. Kecuali masyarakat tertentu yang mengabaikan tradisi tersebut.
                                                         
Sebagaimana tradisi pengantin masyarakat Sumenep umumnya, dalam menentukan perjodohan dumulai dari ngen-angenan atau kabhar, yaitu orang tua berusaha untuk mencari calon isteri untuk anaknya yang kelak dan berkeinginan mencari pasangan hidup dengan meminta bantuan kepada seseorang yang disebut dengan pangade’, kemudian dilanjutkan  arabas paghar, yaitu peran sang pangade’ mencari keterangan calon pengantin yang diincarnya melalui tetangga atau kerabat, setelah melalui proses awal yang begitu panjang maka dimulailah proses lanjutan yang disebut masa bertunangan alias abakalan, lalu nyaba’ jhajan atau lamaran dan seterusnya sampai pada resepsi perkawinan sebagai kisah diatas. Namun tidak menutup kemungkian terjadinya perjodohonan ini tanpa “dibantu” pangade’, tapi kesepakatan secara langsung kedua belah pihak.
Namun demikian kerap yang terjadi pilihan calon suami atau istri jatuh pada orang-orang dekat, yaitu keluarga dekat atau famili, bahkan  persaudaraan yang tidak terikat muhrim. Hal ini untuk menjadi kesinambungan kekeluargaan, dan sudah jelas teruji bebet, bobot dan bibitnya, serta urusan warisan yang nantinya tidak akan jatuh pada pihak atau keluarga orang lain.
Mengingat peristiwa ini menjadi gaya hidup, biayanya prosesi akan memakan nominal cukup besar. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi tuan rumah bila pada saat perayaan macam ini bisa memotong 3 – 5 sapi serta mengundang sekian ratus bahkan ribu orang untuk hadir dan menyaksikan resepsi pengantin ini.
Namun tentu hajat besar ini tidak dilakukan dengan cara resepsi, namun umumnya dilakukan dengan mengundang “jam sehari”, yaitu selama satu hari itu (bahkan sampai 3 hari) terundang bisa hadir setiap saat, pagi, siang, sore atau malam hari, dengan cara lesehan. Kadang pula didatangkan pula klenengan dan tayub (tetabuhan gamelan),topeng dhalang,dan lodrok. Hal ini tergantung sejauh mana rasa prestise tuan rumah dipertaruhkan.


Pengatin yang Diarak
Keramaian di bawah terop dan suara loudspeeker yang nyaring saja tidaklah lengkap tanpa diawali dengan arak-arakan sang mempelai. Dimulai dan diberangkatkan dari rumah besan (mempelai laki-laki) atau tempat yang dianggap tepat kearah menuju tempat hajatan, maka diarakkan pengantin anak itu dengan menunggang kuda, yaitu kuda kenca’ atau kuda serek dengan iringan musik saronen serta sejumlah pengantar (umumnya wanita)  dengan mengenakan pakaian adat rakyat Madura dengan membawa sejumlah bawaan (penampan)  beriringinan menuju tempat hajatan.
Pada  saat itulah, pergelaran menjadi menarik, selain terdapat kedua mempelai penagntin anak naik kuda, sang kudapun ikut menari-nari mengikuti irama saronen, sementara sang pengiring di bagian belakang kerap melemparkan senyum manis sebagaimana senyum kesederhaan gadis desa.
Namun kerap yang terjadi, iringan-iringan itu tidak langsung menuju ke pelaminan, tapi justru diarahkan ke tempat guru ngaji, dimana kedua atau salah satu anak belajar mengaji atau sesepuh keluarga/masyarakat mereka untuk meminta doa restu. Baru pada malam harinya, kedua mempelalai di didudukkan disinggasana pelaminan.
Meski telah menjadi pengantin, setlah acara hajatan ini berakhir, kedua anak tersebut tentu tidak ditempatkan dalam satu kamar bersama. Disini tidak ada bulan madu, tidak ada malam pertama. Setelah itu, mereka dipulangkan ke rumah masing-masing untuk kemudian, ya seperti anak-anak umumnya, mereka bermain lain dengan anak-anak sebayanya. Tanpa beban, tanpa harus melakukan ritual lainnya.
Uniknya meski sang punya hajat harus mengeluarkan anggaran cukup besar, konon kisaram 75 – 150 jutaan itu, namun demikian secara berlanjut perayaan hajatan pengantin macam itu terus berlangsung dan sampai sekarang masih tetap berlangsung.
Selain itu, memang di pulau Poteran ada tradisi yang juga menjadi bagian dari proses hajatan perkawinan, yaitu tradisi tompangan (tumpangan), yaitu sejumlah pihak (sanak famili, kerabat tetangga, atau terundang) yang dengan sengaja menyerahkan tumpangan uang (atau bentuk barang: beras, sapi, gula dll) dengan nominal cukup besar, sehingga suatu saat bila yang menyerahkan tumpangan itu punya hajat tentu untuk si penerima tumpangan akan mengembalikan senilai yang diberikan.
                     

Dan bahkan ini berlaku kepada siapa saja yang terundang apabila patolong (sumbangan)nya kecil, tentu nanti bila giliran kembaliannya akan kecil pula. Dan mungkin inilah penyebab lain, mengapa masyarakat Popteran terburu-buru melakukan hajatan besar-besaran sekedar untuk meramaikan “perkawinan” anak-anaknya, karena investasi yang dimiliki banyak berada di tangan orang luar.
Yang menarik, jutsru meski pernikahan anak masyarakat Poteran melalui proses perjodonan dini dari orang tua, umumnya mereka hidup langgeng setelah melaksanakan pernikahan sah ketika mereka beranjak dewasa.

Sumber: http:













Tidak ada komentar:

Posting Komentar