pertunjukan atraksi jaran kencak setelah penganten selesai diarak.
Tradisi atau kebiasaan
yang kerap terjadi di tengah masyarakat tradisional, kadang dianggap aneh,
tidak lazim bahkan menjadi lucu. Hal ini pula yang terjadi di masyarakat Pulau
Poteran, tepatnya di wilayah kecamatan Talango Kabupaten Sumenep. Wilayah kecamatan
yang terletak sekitar 12 km dari pusat kota Sumenep itu, untuk mencapai tujuan
harus menyeberang selat yang berjarak sekitar 10 – 15 menit dengan menumpang
perahu atau perahu tongkang, dengan mata pencaharian nelayan, petani
tegalan, sebagian kecil pedagang.
Tidak tampak sesuatu
yang aneh dan menarik bila memasuki wilayah yang berpenduduk 41107 jiwa (2012),
kecuali pulau seluas sekitar 48,8 km2 itu dikitari pantai. Namun dari keunikan
tradisi masyarakatnya ditempat itu pula terdapat tradisi masyarakat yang unik
dan menarik yaitu tradisi pengantin anak (kecil), bukan pengantin anak-anak “tan-pangantaran” sebagaimana tradisi permianan anak di
Sumenep.
Pengantin anak, atau
pengantin kecil, dilakukan sebagaimana pengantin dewasa, diselenggarakan secara
formal sebagaimana terjadi pada orang dewasa. Sebagaimana terjadi pada
pengantin dewasa, pengantin anak ini dilakukan dengan proses mulai awal
peminangan, pertunangan (bebekalan) sampai proses resepsi perkawinan. Namun
kali ini tidak dilakukan ijab kabul pernikahan. Mengapa demikian?, memang kedua
mempepelai masih belum pantas dan tidak layak diikat sebagai suami istri.
Gaya Hidup.
Gaya hidup tampaknya
kerap membebani masyarakat setempat untuk menunjukkan kepada masyarakat
lain bahwa dia (mereka) mampu melakukan suatu hajatan besar dalam memeriahkan
“perkawinan” anak-anaknya, meski harus dilakukan jauh sejak dini.
Bahkan konon, proses
pelamaran sampai pertunanganpun bisa terjadi dilakukan sejak anak masih dalam
kandungan. Hal ini tentu dilatari hasil kesepakatan dari kedua belah pihak
(orang tua dengan calon besannya) dengan ikatan perjanjian, “bila nanti anakmu
lahir dan sudah waktunya akan kuminta kujadikan menantuku”, demikian kira-kira
ungkapan perjanjiannya.
Tapi kerap sang orang
tua tidak betah menunggu sampai anak menjadi remaja atau dewasa. Mereka
justru terburu-buru untuk segera diramaikan dalam prosesi pengantinan
untuk memastikan bahwa dia menjadi kebanggaan keluarga, meski anak tersebut
masih belum dewasa, dan bahkan masih “bau kencur”. Selain itu, konon agar sang
kakek atau nenek mumpung masih ada dan hidup biar ikut merasakan kegembiraan
menyaksikan cucu-cucunya duduk di pelaminan.
Perjodohan sejak dini,
khususnya bagi masyarakat yang masih terpaku pada tradisi ini, tentu merupakan
bagian terpenting dalam komunitas keluarga dan lingkungannya. Sebab kalau
sampai terjadi keterlambatan tidak segera meramaikan pengantinan ini tentu akan
menjadi aib bagi sanak keluarga. Karena dianggap sang anak tidak laku suami
atau tidak laku sebagai istri. Untuk itulah, akan menjadi prestise para orang
bila segera menjodohkan anaknya, dan secepat itu pula memeriahkan hajatan
perkawinan putra-putrinya.
Tradisi ini memang sudah
lama berlangsung sejak nenek moyang mereka secara turun menurun.
Perkawinan usia dini dalam perpekstif hukum memang tidak menguntungkan,
bahkan membelenggu hak-hak anak untuk menentukan pilihan hidupnya. Namun
tradisi tetap tradisi, yang sering menjadi bagian “pembenaran” pada
masyarakat tertentu. Penjodohan sejak dini tampaknya sudah mendarah daging di
wilayah pulau ini. Untuk itu, di pulau ini kerap sulit menemukan garis remaja
yang singgle atau jomblo. Kecuali masyarakat tertentu yang mengabaikan tradisi
tersebut.
Sebagaimana tradisi
pengantin masyarakat Sumenep umumnya, dalam menentukan perjodohan dumulai dari ngen-angenan atau kabhar,
yaitu orang tua berusaha untuk mencari calon isteri untuk anaknya yang kelak
dan berkeinginan mencari pasangan hidup dengan meminta bantuan kepada seseorang
yang disebut dengan pangade’, kemudian dilanjutkan arabas
paghar, yaitu peran sang pangade’ mencari keterangan calon
pengantin yang diincarnya melalui tetangga atau kerabat, setelah melalui proses
awal yang begitu panjang maka dimulailah proses lanjutan yang disebut masa
bertunangan alias abakalan, lalu nyaba’ jhajan atau
lamaran dan seterusnya sampai pada resepsi perkawinan sebagai kisah diatas.
Namun tidak menutup kemungkian terjadinya perjodohonan ini tanpa “dibantu” pangade’,
tapi kesepakatan secara langsung kedua belah pihak.
Namun demikian kerap
yang terjadi pilihan calon suami atau istri jatuh pada orang-orang dekat, yaitu
keluarga dekat atau famili, bahkan persaudaraan yang tidak terikat
muhrim. Hal ini untuk menjadi kesinambungan kekeluargaan, dan sudah jelas
teruji bebet, bobot dan bibitnya, serta urusan
warisan yang nantinya tidak akan jatuh pada pihak atau keluarga orang lain.
Mengingat peristiwa ini
menjadi gaya hidup, biayanya prosesi akan memakan nominal cukup besar. Menjadi
kebanggaan tersendiri bagi tuan rumah bila pada saat perayaan macam ini bisa
memotong 3 – 5 sapi serta mengundang sekian ratus bahkan ribu orang untuk hadir
dan menyaksikan resepsi pengantin ini.
Namun tentu hajat besar
ini tidak dilakukan dengan cara resepsi, namun umumnya dilakukan dengan
mengundang “jam sehari”, yaitu selama satu hari itu (bahkan
sampai 3 hari) terundang bisa hadir setiap saat, pagi, siang, sore atau malam
hari, dengan cara lesehan. Kadang pula didatangkan pula klenengan
dan tayub (tetabuhan gamelan),topeng dhalang,dan lodrok. Hal ini tergantung sejauh mana rasa prestise
tuan rumah dipertaruhkan.
Pengatin yang Diarak
Keramaian di bawah terop
dan suara loudspeeker yang nyaring saja tidaklah lengkap tanpa
diawali dengan arak-arakan sang mempelai. Dimulai dan diberangkatkan dari rumah
besan (mempelai laki-laki) atau tempat yang dianggap tepat kearah menuju tempat
hajatan, maka diarakkan pengantin anak itu dengan menunggang kuda, yaitu kuda kenca’ atau
kuda serek dengan iringan musik saronen serta sejumlah
pengantar (umumnya wanita) dengan mengenakan pakaian adat rakyat Madura
dengan membawa sejumlah bawaan (penampan) beriringinan menuju tempat
hajatan.
Pada saat itulah,
pergelaran menjadi menarik, selain terdapat kedua mempelai penagntin anak naik
kuda, sang kudapun ikut menari-nari mengikuti irama saronen, sementara sang
pengiring di bagian belakang kerap melemparkan senyum manis sebagaimana senyum
kesederhaan gadis desa.
Namun kerap yang
terjadi, iringan-iringan itu tidak langsung menuju ke pelaminan, tapi justru
diarahkan ke tempat guru ngaji, dimana kedua atau salah satu anak belajar
mengaji atau sesepuh keluarga/masyarakat mereka untuk meminta doa restu. Baru
pada malam harinya, kedua mempelalai di didudukkan disinggasana pelaminan.
Meski telah menjadi
pengantin, setlah acara hajatan ini berakhir, kedua anak tersebut tentu tidak
ditempatkan dalam satu kamar bersama. Disini tidak ada bulan madu, tidak ada
malam pertama. Setelah itu, mereka dipulangkan ke rumah masing-masing untuk
kemudian, ya seperti anak-anak umumnya, mereka bermain lain dengan anak-anak
sebayanya. Tanpa beban, tanpa harus melakukan ritual lainnya.
Uniknya meski sang punya
hajat harus mengeluarkan anggaran cukup besar, konon kisaram 75 – 150 jutaan
itu, namun demikian secara berlanjut perayaan hajatan pengantin macam itu terus
berlangsung dan sampai sekarang masih tetap berlangsung.
Selain itu, memang di
pulau Poteran ada tradisi yang juga menjadi bagian dari proses hajatan
perkawinan, yaitu tradisi tompangan (tumpangan), yaitu
sejumlah pihak (sanak famili, kerabat tetangga, atau terundang) yang dengan
sengaja menyerahkan tumpangan uang (atau bentuk barang: beras, sapi, gula dll)
dengan nominal cukup besar, sehingga suatu saat bila yang menyerahkan tumpangan
itu punya hajat tentu untuk si penerima tumpangan akan mengembalikan senilai
yang diberikan.
Dan bahkan ini berlaku
kepada siapa saja yang terundang apabila patolong (sumbangan)nya
kecil, tentu nanti bila giliran kembaliannya akan kecil pula. Dan mungkin
inilah penyebab lain, mengapa masyarakat Popteran terburu-buru melakukan
hajatan besar-besaran sekedar untuk meramaikan “perkawinan” anak-anaknya,
karena investasi yang dimiliki banyak berada di tangan orang luar.
Yang menarik, jutsru
meski pernikahan anak masyarakat Poteran melalui proses perjodonan dini dari
orang tua, umumnya mereka hidup langgeng setelah melaksanakan pernikahan sah
ketika mereka beranjak dewasa.
Sumber: http:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar