Senin, 30 September 2013

Menangkap Keunikan Budaya Pulau Poteran dengan ujung lensa

pertunjukan atraksi jaran kencak setelah penganten selesai diarak.

Tradisi atau kebiasaan yang kerap terjadi di tengah masyarakat tradisional, kadang dianggap aneh, tidak lazim bahkan menjadi lucu. Hal ini pula yang terjadi di masyarakat Pulau Poteran, tepatnya di wilayah kecamatan Talango Kabupaten Sumenep. Wilayah kecamatan yang terletak sekitar 12 km dari pusat kota Sumenep itu, untuk mencapai tujuan harus menyeberang selat yang berjarak sekitar 10 – 15 menit dengan menumpang perahu atau perahu tongkang, dengan mata pencaharian nelayan, petani tegalan,  sebagian kecil pedagang.
Tidak tampak sesuatu yang aneh dan menarik bila memasuki wilayah yang berpenduduk 41107 jiwa (2012), kecuali pulau seluas sekitar 48,8 km2 itu dikitari pantai. Namun dari keunikan tradisi masyarakatnya ditempat itu pula terdapat tradisi masyarakat yang unik dan menarik yaitu tradisi pengantin anak (kecil), bukan pengantin anak-anak “tan-pangantaran” sebagaimana tradisi permianan anak di Sumenep.
Pengantin anak, atau pengantin kecil, dilakukan sebagaimana pengantin dewasa, diselenggarakan secara formal sebagaimana terjadi pada orang dewasa. Sebagaimana terjadi pada pengantin dewasa, pengantin anak ini dilakukan dengan proses mulai awal peminangan, pertunangan (bebekalan) sampai proses resepsi perkawinan. Namun kali ini tidak dilakukan ijab kabul pernikahan. Mengapa demikian?, memang kedua mempepelai masih belum pantas dan tidak layak diikat sebagai suami istri.



Gaya Hidup.
Gaya hidup tampaknya kerap membebani masyarakat setempat untuk menunjukkan kepada masyarakat  lain bahwa dia (mereka) mampu melakukan suatu hajatan besar dalam memeriahkan “perkawinan” anak-anaknya, meski harus dilakukan jauh sejak dini.
Bahkan konon, proses pelamaran sampai pertunanganpun bisa terjadi dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Hal ini tentu dilatari hasil kesepakatan dari kedua belah pihak (orang tua dengan calon besannya) dengan ikatan perjanjian, “bila nanti anakmu lahir dan sudah waktunya akan kuminta kujadikan menantuku”, demikian kira-kira ungkapan perjanjiannya.
Tapi kerap sang orang tua tidak betah menunggu sampai anak menjadi remaja atau dewasa. Mereka  justru terburu-buru untuk segera diramaikan dalam prosesi pengantinan untuk memastikan bahwa dia menjadi kebanggaan keluarga, meski anak tersebut masih belum dewasa, dan bahkan masih “bau kencur”. Selain itu, konon agar sang kakek atau  nenek mumpung masih ada dan hidup biar ikut merasakan kegembiraan menyaksikan cucu-cucunya duduk di pelaminan.
                   
Perjodohan sejak dini, khususnya bagi masyarakat yang masih terpaku pada tradisi ini, tentu merupakan bagian terpenting dalam komunitas keluarga dan lingkungannya. Sebab kalau sampai terjadi keterlambatan tidak segera meramaikan pengantinan ini tentu akan menjadi aib bagi sanak keluarga. Karena dianggap sang anak tidak laku suami atau tidak laku sebagai istri. Untuk itulah, akan menjadi prestise para orang bila segera menjodohkan anaknya, dan secepat itu pula memeriahkan hajatan  perkawinan putra-putrinya.
Tradisi ini memang sudah lama berlangsung sejak nenek moyang mereka secara turun menurun. Perkawinan  usia dini dalam perpekstif hukum memang tidak menguntungkan, bahkan membelenggu hak-hak anak untuk menentukan pilihan hidupnya. Namun tradisi tetap tradisi, yang sering menjadi bagian “pembenaran”  pada masyarakat tertentu. Penjodohan sejak dini tampaknya sudah mendarah daging di wilayah pulau ini. Untuk itu, di pulau ini kerap sulit menemukan garis remaja yang singgle atau jomblo. Kecuali masyarakat tertentu yang mengabaikan tradisi tersebut.
                                                         
Sebagaimana tradisi pengantin masyarakat Sumenep umumnya, dalam menentukan perjodohan dumulai dari ngen-angenan atau kabhar, yaitu orang tua berusaha untuk mencari calon isteri untuk anaknya yang kelak dan berkeinginan mencari pasangan hidup dengan meminta bantuan kepada seseorang yang disebut dengan pangade’, kemudian dilanjutkan  arabas paghar, yaitu peran sang pangade’ mencari keterangan calon pengantin yang diincarnya melalui tetangga atau kerabat, setelah melalui proses awal yang begitu panjang maka dimulailah proses lanjutan yang disebut masa bertunangan alias abakalan, lalu nyaba’ jhajan atau lamaran dan seterusnya sampai pada resepsi perkawinan sebagai kisah diatas. Namun tidak menutup kemungkian terjadinya perjodohonan ini tanpa “dibantu” pangade’, tapi kesepakatan secara langsung kedua belah pihak.
Namun demikian kerap yang terjadi pilihan calon suami atau istri jatuh pada orang-orang dekat, yaitu keluarga dekat atau famili, bahkan  persaudaraan yang tidak terikat muhrim. Hal ini untuk menjadi kesinambungan kekeluargaan, dan sudah jelas teruji bebet, bobot dan bibitnya, serta urusan warisan yang nantinya tidak akan jatuh pada pihak atau keluarga orang lain.
Mengingat peristiwa ini menjadi gaya hidup, biayanya prosesi akan memakan nominal cukup besar. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi tuan rumah bila pada saat perayaan macam ini bisa memotong 3 – 5 sapi serta mengundang sekian ratus bahkan ribu orang untuk hadir dan menyaksikan resepsi pengantin ini.
Namun tentu hajat besar ini tidak dilakukan dengan cara resepsi, namun umumnya dilakukan dengan mengundang “jam sehari”, yaitu selama satu hari itu (bahkan sampai 3 hari) terundang bisa hadir setiap saat, pagi, siang, sore atau malam hari, dengan cara lesehan. Kadang pula didatangkan pula klenengan dan tayub (tetabuhan gamelan),topeng dhalang,dan lodrok. Hal ini tergantung sejauh mana rasa prestise tuan rumah dipertaruhkan.


Pengatin yang Diarak
Keramaian di bawah terop dan suara loudspeeker yang nyaring saja tidaklah lengkap tanpa diawali dengan arak-arakan sang mempelai. Dimulai dan diberangkatkan dari rumah besan (mempelai laki-laki) atau tempat yang dianggap tepat kearah menuju tempat hajatan, maka diarakkan pengantin anak itu dengan menunggang kuda, yaitu kuda kenca’ atau kuda serek dengan iringan musik saronen serta sejumlah pengantar (umumnya wanita)  dengan mengenakan pakaian adat rakyat Madura dengan membawa sejumlah bawaan (penampan)  beriringinan menuju tempat hajatan.
Pada  saat itulah, pergelaran menjadi menarik, selain terdapat kedua mempelai penagntin anak naik kuda, sang kudapun ikut menari-nari mengikuti irama saronen, sementara sang pengiring di bagian belakang kerap melemparkan senyum manis sebagaimana senyum kesederhaan gadis desa.
Namun kerap yang terjadi, iringan-iringan itu tidak langsung menuju ke pelaminan, tapi justru diarahkan ke tempat guru ngaji, dimana kedua atau salah satu anak belajar mengaji atau sesepuh keluarga/masyarakat mereka untuk meminta doa restu. Baru pada malam harinya, kedua mempelalai di didudukkan disinggasana pelaminan.
Meski telah menjadi pengantin, setlah acara hajatan ini berakhir, kedua anak tersebut tentu tidak ditempatkan dalam satu kamar bersama. Disini tidak ada bulan madu, tidak ada malam pertama. Setelah itu, mereka dipulangkan ke rumah masing-masing untuk kemudian, ya seperti anak-anak umumnya, mereka bermain lain dengan anak-anak sebayanya. Tanpa beban, tanpa harus melakukan ritual lainnya.
Uniknya meski sang punya hajat harus mengeluarkan anggaran cukup besar, konon kisaram 75 – 150 jutaan itu, namun demikian secara berlanjut perayaan hajatan pengantin macam itu terus berlangsung dan sampai sekarang masih tetap berlangsung.
Selain itu, memang di pulau Poteran ada tradisi yang juga menjadi bagian dari proses hajatan perkawinan, yaitu tradisi tompangan (tumpangan), yaitu sejumlah pihak (sanak famili, kerabat tetangga, atau terundang) yang dengan sengaja menyerahkan tumpangan uang (atau bentuk barang: beras, sapi, gula dll) dengan nominal cukup besar, sehingga suatu saat bila yang menyerahkan tumpangan itu punya hajat tentu untuk si penerima tumpangan akan mengembalikan senilai yang diberikan.
                     

Dan bahkan ini berlaku kepada siapa saja yang terundang apabila patolong (sumbangan)nya kecil, tentu nanti bila giliran kembaliannya akan kecil pula. Dan mungkin inilah penyebab lain, mengapa masyarakat Popteran terburu-buru melakukan hajatan besar-besaran sekedar untuk meramaikan “perkawinan” anak-anaknya, karena investasi yang dimiliki banyak berada di tangan orang luar.
Yang menarik, jutsru meski pernikahan anak masyarakat Poteran melalui proses perjodonan dini dari orang tua, umumnya mereka hidup langgeng setelah melaksanakan pernikahan sah ketika mereka beranjak dewasa.

Sumber: http:













Sabtu, 28 September 2013

Liuk Irama Musik Saronen dalam bidikan Lensa




Madura satu di antara pulau-pulau yang ada di Indonesia. Daerah itu memiliki ragam budaya, di antara budaya yang terjaga dan tetap eksis di kalangan penggemarnya adalah saronen. Musik Saronen memiliki harmonisasi yang dinamis, rancak, dan bertema keriangan. Bunyi musik itu mencerminkan karakteristik dan identitas masyarakat Madura yang tegas, polos, dan sangat terbuka.
Keberadaan musik saronen erat kaitannya dengan penyebaran agama islam di Madura khusunya di Kabupaten Sumenep. Karena lahirnya musik itu, diprakarsai oleh ulama Sumenep sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan agama Islam kepada Masyarakat.
Usia musik tradisional itu lebih dari 500 tahun lamanya. Musik itu pertama kali dimunculkan atau diciptakan oleh Kiai Hatib Sendang, beliau putera ulama yang pertama kali datang ke Sumenep, Sayid Ahmad Baidhawi (Pangeran Katandur). Tempat tinggal Kiai Hatib (cicit Sunan Kudus) adalah desa Sendang Kecamatan Paragaan, yang juga tercatat sebagai pondok pesantren pertama di Madura.
Nama Saronen dalam catatan sejarahnya mengambil dari nama hari senin(Sennenan). Dalam sejarahnya musik itu sering ditabuh setiap hari Senin di Pasar Ganding Sumenep. Kyai Hatib Sendang dan para pengikutnya menghibur pengunjung pasar disertai pelawak yang menari (Atandang), selain itu mereka melantunkan kejhung islami untuk mengajak masyarakat untuk melakukan Syariat Islam secarah kaffah dan benar. Setelah para pengunjung pasar berkumpul, mulailah giliran Kyai Hatib Sendang berdakwah memberi pemaparan tentang Islam dan kritik sosial. Gaya dakwah yang kocak humoris tapi mampu menggetarkan hati pengujung membuat masyarakat yang hadir tertarik langsung minta baiat masuk Islam.



Salah satu bukti bahwa musik saronen berbau Islam dan dijadikan sebagai media dakwah oleh Kia Hatib terlihat dengan rangkaian instrumen musik saronen dengan sembilan komponen.  Ciri khas musik saronen itu karena disesuaikan dengan nilai filosofis Islam yang merupakan kepanjangan tangan dari kalimat pembuka Alqur'anul Karim yaitu " Bis Mil Lah Hir Roh Ma Nir Ro Him ". Kesembilan instrumen musik SARONEN itu terdiri dari : 1 saronen, 1 gong besar, 1 kempul, 1 satu kenong besar, 1 kenong tengahan, 1 kenong kecil, 1 korca, 1 gendang besar, 1 gendang dik-gudik (gendang kecil ). Namun seiring dengan bergulirnya waktu nuansa islami tak dapat lagi ditangkap mata pada setiap pagelaran-pagelaran musik itu.
Yang menarik dan menjadi jiwa dari musik asal Madura itu adalah alat tiup berbentuk kerucut, terbuat dari kayu jati dengan enam lobang berderet di depan dan satu lubang di belakang. Sebuah gelang kecil dari kuningan mengaitkan bagian bawah dengan bagian atas ujungnya terbuat dari daun siwalan . Pada pangkal atas musik itu ditambah sebuah sayap dari tempurung menyerupai kumis , menambah kejantanan dan kegagahan peniupnya. Alat tiup yg mengerucut ini berasal dari Timur Tengah yang dimodifikasi bunyinya. Dalam sebuah buku yang berjudul “ Lebur; Seni Budaya dan Musik Madura” karangan Helene BourvierSaronen adalah sebuah alat musik yang berasal dari timur tengah. Alat musik itu di daerah asalnya dikenal dengan beraneka ragam nama, yaitu surnai, sirnai, sarune, shahnai.
Alat musik Saronen biasanya dipakai sebagai pembuka komposisi dengan permainan solo. Suaranya yang sedikit sengau dan demikian keras, meloncat-loncat, melengking-lengking dan meliuk-liuk dalam irama yang menghentak. Baru setelah itu diikuti oleh pukulan alat musik lainnya. Perpaduan alat-alat musik tersebut menghasilkan keselarasan irama.
Setiap komposisi musik yang dimainkan, diawali dalam tempo lamban yang berubah menjadi tempo medium, lalu semakin cepat, atau sebaliknya, permainan diawali langsung dalam tempo medium langsung berubah menjadi cepat dan berakhir dengan tempo yang semakin cepat. Permainan yang sangat variatif dan penuh improvisasi dari para pemain, serta teriakan yang dilontarkan para pemain menambah kegairahan pada irama yang sudah melengking dan meloncat-loncat. Dalam setiap permainan, setiap komposisi lagu berakhir seketika, dalam arti semua instrumen berhenti pada saat yang sama.



Seperti halnya instrumen musik lain, Saronen dapat dimainkan sesuai  dengan jenis irama yang diinginkan. Walaupun sangat dominan memainkan jenis irama mars, dalam bahasa Madura irama  sarka’, Saronen itu mampu menghasilkan jenis irama lainnya, yaitu irama lorongan (irama sedang). Jenis irama itu terdiri dari dua, yaitu irama sedang  “lorongan jhalan” dan  irama slow ‘lorongan toju’. Masing-masing irama tersebut dimainkan di berbagai kegiatan kesenian dengan acara serta suasana yang berbeda
Untuk irama sarka’, biasanya dimainkan dalam suasana riang dan permainan musik cepat dan dinamis. Tujuannya adalah memberikan  semangat dan suasana hangat. Adapun semua lagu dapat digubah dalam irama sarka’. Sementara itu, untuk jenis irama lorongan, baik lorongan jhalanlorongan toju’ (slow), lagu-lagu yang dimainkan biasanya berasal dari  berbagai lagu gending karawitan. (sedang) atau
Ketika mengiringi kerapan sapi  menuju lapangan untuk berlaga, irama sarka’ itu dimainkan untuk memberikan dorongan semangat, baik kepada sapi atau pun pemilik serta para pengiring-nya. Begitu pula ketika Saronen mengiringi sepasang pengantin, irama  itu dimainkan sampai sepasang pengantin itu mencapai pintu gerbang. Musik ber-irama sarka’ itu, mampu menciptakan suasana hangat dan kegembiraan  bagi penonton.
Sedangkan irama lorongan jhalan (irama sedang), biasanya dimainkan  pada saat dalam perjalanan menuju lokasi tujuan. Baik ketika sedang mengiringi sapi kerapan ataupun atraksi sapi sono’. Selain itu, irama itu dimainkan ketika mengiringi atraksi kuda serek (jarankenca’) atau pun di  berbagai acara ritual yang berkaitan dengan prosesi  kehidupan manusia. Adapun lagu-lagu yang dimainkan berasal dari lagu-lagu gending karawitan, seperti gending Nong-Nong, Manyar Sebuh, Lan-jalan ataupun Bronto Sewu.


Irama lorongan toju’, biasanya memainkan lagu-lagu gending yang ber-irama lembut (slow). Jenis irama itu dipakai untuk mengungkapkan luapan perasaan yang melankonis, rindu dendam, suasana sedih ataupun perasaan bahagia. Irama lorongan toju’ biasa dimainkan ketika mengiringi pengantin  keluar dari pintu gerbang menuju pintu pelaminan. Adapun gending-gending yang dimainkan adalah alunan gending Angling, Rarari, Puspawarna, Kinanti, Gung-Gung dan lainnya.
Dalam setiap penampilan agar semakin memikat, biasanya para pemain menggunakan seragam yang sama. Untuk acara-acara ritual, para pemain biasanya memakai odheng Madura dan bersarung; ada juga yang mengenakan celana dan baju hitam longgar khas petani Madura serta berkaos dengan motif garis-garis panjang berwarna merah putih. Namun di kalangan kaum muda biasanya mereka tampil lebih modern, dengan mengenakan pakaian warna-warna terang dan mencolok serta memakai rompi yang dihiasi oleh rumbai-rumbai  benang emas. Penampilan mereka semakin keren dengan memakai kaca mata hitam serta topi lakan.





Senin, 23 September 2013

Main Mata: Kedipan Lensa pada Pangantan Jamang Madura

Main Mata: Kedipan Lensa pada Pangantan Jamang Madura

Kedipan Lensa pada Pangantan Jamang Madura

foto: pangantan Jamang anak perempuan (kiri) dan anak laki-laki(kanan)

Perputaran saat seringkali menyeret kita pada alam yang berbeda tanpa disadari. Begitu juga dengan identitas sebuah bangsa, kadang tanpa sadar secara perlahan kita tanggalkan mahkota kebanggaan kita ditukar dengan label moderenitas. Tentu hal ini sangat memprihatinkan, sebuah kearifan lokal yang diwariskan leluhur lenyap tanpa bekas, sedangkan budaya dan tren baru yang mewabah dari negeri antah-berantah laku keras di pasaran. Ironisnya lagi, konsumen tetap semua produk impor tersebut adalah remaja yang akan menjadi nahkoda negeri ini di masa depan.


Berdasarkan problema pelik tersebut, penulis berusaha memperkenalkan keindahan budaya tidak hanya lewat narasi tapi menyertakan dokumentasi lewat kedipan-kedipan lensa kamera. foto-foto ini merupakan budaya Madura yang disebut Pangantan Jamang (Penganten Jamang) yang harus tetap dijaga kelestariannya.


Pangantan Jamang dahulu merupakan permainan anak-anak di Madura kala waktu senggang, namun seiring dengan perjalanan waktu permainan tan-pangantanan telah menjadi tradisi di Madura, Sumenep khususnya. Dahulu penganten Jamang menggunakan samper palekat (kain panjang) yang dililitkan di tubuh penganten hanya sampai dada, akan tetapi sekarang telah menggunakan kain yang lebih indah dan rapi seperti yang tanpak di foto-foto pakaian pangantan Jamang. Tata rias yang di balurkan ke tubuh penganten hingga kulitnya berwarna kuning merupakan campuran beras dan temmo (kunir dan kunyit kuning).


Kata Jamang sendiri diambil dari perhiasan yang digunakan pengaten, yakni perhiasan yang dipakai layaknya mahkota pada jaman kerajaan yang diikat di bagian kepala. Selain itu untuk mempercantik sang penganten, perias juga memberikan untaian roncean bunga melati. Setelah segala pernak-perniknya telah siap maka pangantan Jamang siap di arak keliling kampung menggunakan Jaran kenca' dan diiringi musik saronen.


Minggu, 22 September 2013

Potensi Pulau Poteran Tak Sekecil Luasnya

suasana penyeberangan dari pelabuhan Kalianget ke pelabuhan Talango


Sumenep merupakan kabupaten ujung timur di pulau Madura. Tentu kesan kata 'ujung' banyak menyebabkan banyak orang meliriknya sebelah mata. Namun kesan pojok negeri itu akan segera sirna jika kita mau mengintipnya lebih lama lagi. Sengaja memilih kata mengintip agar nanti tidak kehilangan muka bila terjadi hal yang tidak terduga, jatuh hati pada daerah ini. 

Sumenep merpakan kabupaten yang memilik banyak pulau-pulau kecil. Di antaranya pulau Gili raja, Gili genting, Gili lawak, Gili iyang, Masalembu, Spudi, Ra'as, kepulauan Kangean, dan pulau yang paling dekat dengan pulau Madura, pulau Poteran. Semua pulau tadi memiliki kekayaan yang luar biasa, baik budaya maupun alamnya. Namun sebagai pulau paling dekat dengan kabupaten kota, pulau Poteran tentunya memiliki potensi paling besar untuk dikunjungi wisatawan, tentunya hal ini bukan bermaksud mengecilkan potensi pulau-pulau lain, akan tetapi ini lebih pada pertimbangan jarak tempuh yang relatif singkat(10 menit).

Meskipun pulau Poteran terbilang kecil tetapi memiliki beberapa tempat wisata yang cukup dikenal di Madura dan Jawa. Pulau Poteran, kecamatan Talango, seperti sudah menjadi menu wajib wisatawan-khususnya wisata religi. Lebih jelasnya dipaparkan secara lengkap di bawah ini:

1. Kecamatan : Talango, Desa : Talango, Nama Jenis Potensi Wisata : Asta Sayyid Yusuf.
#Deskripsi Potensi Wisata :
Untuk menuju dan mengunjungi Asta Sayyid Yusuf ini pertama-tama harus menuju pelabuhan kalianget yang berjarak 11 km dari pusat kota atau 10,7 km dari terminal (Arya Wiraraja) kemudian melakukan penyeberangan ke pulau Talango atau yang disebut dengan pulau Poteran yang letaknya di bagian tenggara Kabupaten Sumenep. Penyeberangan ini ditempuh dengan menggunakan kapal tongkang yang bisa dimuati sepeda motor dan mobil, dengan tarif yang berbeda yaitu Rp 3500 (untuk sepeda motor) Rp 5000-10000 (untuk mobil) sedangkan pejalan kaki hanya Rp 1000;. Atau dengan perahu mesin yaitu hanya Rp 5000 (untuk sepeda motor) dan Rp 1000 (untuk pejalan kaki). Sedangkan lama waktu yang ditempuh adalah 10 menit untuk kapal tongkang dan 5 menit untuk perahu mesin. 

Pulau talango ini banyak menyimpan potensi wisata, baik wisata religi maupun wisata bahari/pantai. Salah satunya adalah Asta Sayyid Yusuf yang letaknya di Desa Talango Kecamatan Talango 700 meter dari Pelabuhan Talango.
Pada tahun 1212 Hijriah (1791 M) Raja Sumenep yaitu Sri Sultan Abdurrahman Pangkutaningrat, beserta rombongannya yang terdiri dari para prajurit berangkat dari keraton Sumenep bermaksud menyebarkan agama islam ke pulau Bali. Setibanya di pelabuhan kalianget karena telah sore, maka beliau bermalam di kalianget. Namun sekitar tengah malam Sri Sultan dikejutkan oleh cahaya yang sangat terang dan seakan-akan jatuh dari langit ke sebelah timur pelabuhan Kalianget yaitu di pulau Talango. Kemudian dengan rasa penasaran setelah solat subuh Sri Sultan memerintahkan pada para rombongan prajuritnya untuk merubah perjalanan yaitu menyeberang pulau Talango. Dengan rasa yang penasaran Sri Sultan dan para Prajurit masuk hutan dan mendapati tanda yang meyakinkan yaitu sebuah kuburan baru. Kemudian tanpa pikir panjang sang Sultan mengucapkan salam pada penghuni kubur, dan alangkah terkejutnya beliau karena salam yang beliau ucapkan dijawab oleh sang penghuni kubur dengan sangat jelas namun tidak ada wujud yang tampak. Karena rasa penasaran yang mendalam kemudian Sri Sultan bermunajat pada Allah SWT, tiba-tiba jatuhlah selembar daun yang bertuliskan (Hadz Maulana Sayyid Yusuf Bin Ali Bin Abdullah Al Hasan) yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan Sayyid Yusuf. Sri Sultan tidak hanya berhenti disana, kemudian Sri Sultan membuat Batu nisan yang bertuliskan nama suci sesuai yang tertera pada daun. Kemudian Pasarenan atau Kuburan Sayyid Yusuf diberi Congkop atau Pandepa, tetapi anehnya kuburan tersebut pindah ke sebelah timur. Hal ini menandakan bahwa Sayyid Yusuf tidak menghendaki kuburan beliau diberi congkop atau pandapa hingga sekarang.
Satu tahun setelah kejadian tersebut Sri Sultan datang mengunjungi kuburan Sayyid Yusuf kembali dan membangun pendopo untuk tempat menerima tamu atau peristirahatan serta membangun mesjid jami'.Konon pohon besar yang sampai sekarang kokoh berdiri di sebelah timur Kuburan Sayyid Yusuf adalah tongkat yang ditancapkan oleh Sri Sultan. 

Tempat ini ramai dikunjungi oleh para peziarah setiap harinya ±500 Peziarah. Namun puncaknya adalah pada minggu pertama bulan sya'ban karena merupakan Houl Sayyid Yusuf, dan mulai sepi pengunjung ketika memasuki bulan Ramadhan.
Asta Sayyid Yusuf juga memiliki yayasan yang didirikan tahun 1986 dengan nama Yayasan Asta Sayyid Yusuf yang bergerak dibidang pendidikan mulai dari Madrasah Ibtidayah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan SMA dengan tujuan membantu siswa yang kurang mampu dan jauh dari tempat sekolah.
#Deskripsi Pengolahan / Pengembangannya
Adapun hal yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan Potensi Wisata ini adalah: Pemasangan Papan penujuk jalan menuju Asta (Kuburan) Sayyid Yusuf seperti pelabuhan Talango, Kenyamanan para pengunjung atau peziarah perlu lebih diperhatikan karena selama ini peziarah selalu tidak dinyamankan dengan banyaknya pengemis yang terlalu memaksa, Pemagaran tempat agar tampak lebih luas dan lebih nyaman pada para peziarah untuk beristirahat, Kebersihan Tempat.


2.Kecamatan : Talango, Desa : Padike, Nama Jenis Potensi Wisata : Asta Ponjuk Padike,
#Deskripsi Potensi Wisata :
Asta Ponjuk Padike atau dikenal dengan nama Buju' Senneng merupakan salah satu obyek wisata religi yang didukung dengan panorama pantai disekitar lokasi. Terletak ±2 km kearah selatan dari pelabuhan Talango. Asta Ponjuk Padike/Buju' Senneng merupakan makam dari salah satu keturunan mataram islam yang antipati Belanda yang bernama "Raden Maulana Kusuma / Kyai Abdul Halim. Beliau putra dari Kyai Agung Abdurrahman.
Asta Ponjuk Padike terdiri dari 2 makam yaitu makam dari kyai Abdul Halim serta istrinya yaitu siti Sulaiha.
#Deskripsi Pengolahan / Pengembangannya, Pengerasan jaban tanah ±500m dari jalan aspal, Pemasangan papan lokasi ditempat-tempat strategis, Perbaikan makam siti sulaikha. Pemagaran samping utara dan selatan untuk menjaga keamanan pengunjung
Dengan diperhatikan obyek wisata ini diharapkan nantinya jumlah pengunjung/peziarah akan meningkat dan kan mendatangkan pendapatan kepada Kabupaten Sumenep khususnya Pulau Talango.


3. Kecamatan : Talango, Desa : Kombang, Nama Jenis Potensi Wisata : Asta Ponjuk Kombang.
#Deskripsi Potensi Wisata :
Terletak ±8 Km dari pelabuhan Talango, terdapat satu objek wisata yang cukup potensial untuk dikembangkan. Objek wisata tersebut adalah objek wisata religi Asta Ponjuk Kombang. Objek wisata religi tersebut berada dipesisir timur pulau Talango. Berjarak ±1,2 Km dari Asta Majapahit, Asta Ponjuk Kombang adalah tempat dikebumikannya Ratu Zahara atau dikenal juga dengan nama Putri Kuning, yang tidak lain adalah adik dari Kyai Agung Abdurrahman (Asta Majapahit) beserta suaminya yang merupakan salah satu murid sunan Ampel yang bernama Syech Muhammad Maghribi atau dikenal juga dengan nama "Buyut Jimat".
Selain wisata religi objek wisata Asta Ponjuk Kombang juga memiliki pemandangan yang sangat bagus, karena berbatasan langsung dengan laut Pantai yang berbatu, dan dihiasi pohon-pohon siwalan, menjadikan tempat tersebut sangat potensial untuk dikembangkan.
#Deskripsi Pengolahan / Pengembangannya
Akses jalan yang kurang baik, menjadikan lokasi asta Ponjuk Kommbang sukar untuk dikunjungi. Untuk itu perlu adanya perhatian dari dinas terkait, agar akses jalan menuju lokasi tersebut diperbaiki, guna memudahkan transportasi menuju lokasi tersebut.
Mengingat lokasi yang berada di bibir pantai dan agak terjal, perlu adanya pembangunan pagar di sekeliling area makam. Renovasi tempat istirahat atau pendhapa yang sudah tidak layak pakai menjadi sangat perlu, guna menunjang fasilitas dilokasi tersebut untuk memudahkan dan memberi kenyamanan, pembuatan anak tangga untuk akses turun-naik dari makam kepantai juga perlu. Papan penunjuk lokasi sangat perlu untuk dipasang dibeberapa titik. Hal ini guna memudahkan wisatawan menemukan lokasi Asta Ponjuk Kombang tersebut mengingat lokasinya sedikit terpencil. Lahan kosong disebelah barat, bisa dikembangkan menjadi lokasi wisata pantai yang mungkin nantinya bisa menjadi andalan wisatawan Sumenep.


Sabtu, 21 September 2013

Catatan Lensa di Pantai Pulau Poteran

                                                         Sunset di pantai Ponjhuk bara'

Pulau Poteran merupakan salah satu pulau yang terdapat di daerah pemerintahan kabupaten Sumenep. Pulau yang paling dekat dengan pulau Madura ini banyak memilik keindahan. Namun tak banyak orang yang mengetahuinya. Di sini banyak tempat-tempat yang memanjakan mata, salah satunya pantai.
Foto HDR pantai Ponjhuk bara'

Pantai yang telah dikenal indah oleh masyarakat sekitar adalah pantai Ponjhuk bara' dan pantai Ponjhuk temor. Pantai-pantai tersebut biasanya ramai dikunjungi orang, khususnya muda-mudi, setelah hari raya Idul Fitri. Ponjhuk bara' misalnya, masyarakat banyak mengunjungi ke pantai yang berada dalam wilayah pemerintahan kecamatan Talango ini pada hari ke-7 (Tellasan topa'). Pantai ini selain menawarkan keindahan yang memanjakan pengunjung dengan pasir putihnya juga dapat menyejukan rohani, hal ini dikarenakan di sana terdapat makam tokoh masayarakat. 

sunrise di pantai Ponjhuk temor

Pantai Ponjhuk temor menawarkan nuansa yang tidak jauh berbeda dengan pantai Ponjhuk bara'. Perbedaan yang ditawarkan ponjhuk temor terdapat pada komposisi pantainya saja. jika  Ponjhuk bara' menawarkan pasir putih, maka di Ponjhuk temor menyajikan keindahan batu karang yang bersusun unik. selain itu ombak yang menghiasi pemandangan laut ini lebih memanjakan pengunjungnya.
batu karang di pantai Ponjhuk temor